-->

Peninggalan dan Sejarah Provinsi Sumatera Selatan

 


INDEPHEDIA.com - Dilihat dari posisinya, Sumatera Selatan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera. Provinsi ini beribukota di Palembang. 
 
Secara geografis Provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di utara, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di timur, Provinsi Lampung di selatan dan Provinsi Bengkulu di bagian barat.

Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Selain itu, ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya. Karenanya, provinsi ini juga banyak meninggalkan bukti-bukti sejarah.

Beberapa peninggalan sejarah di Provinsi Sumatera Selatan, antara lain Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Benteng Kuto Besak, Jembatan Ampera dan Museum Sultan Badaruddin II.
 
Peninggalan-peninggalan lain ada pula Kampung Kapiten, Monumen Penderitaan Rakyat (Monpera), Museum Balaputra Dewa, Candi Bumi Ayu serta banyak lagi lainnya.

1. Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya

Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya atau sebelumnya dikenal dengan nama Situs Karanganyar adalah taman purbakala bekas kawasan permukiman dan taman yang dikaitkan dengan kerajaan Sriwijaya yang terletak tepi utara Sungai Musi di Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Di kawasan ini ditemukan jaringan kanal, parit dan kolam yang disusun rapi dan teratur yang memastikan bahwa kawasan ini adalah buatan manusia, sehingga dipercaya bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang terletak di situs ini. 
 
Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.

2. Benteng Kuto Besak

Kuto Besak adalah bangunan keraton yang pada abad XVIII menjadi pusat Kesultanan Palembang. Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada tahun 1724-1758 dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya, yaitu Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah antara tahun 1776-1803.

Sultan Mahmud Bahauddin ini seorang tokoh Kesultanan Palembang Darussalam yang realistis dan praktis dalam perdagangan internasional, serta seorang agamawan yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di Nusantara. 
 
Menandai perannya sebagai sultan, Sultan Mahmud Bahauddin kemudian pindah dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Belanda menyebut Kuto Besak sebagai nieuwe keraton alias keraton baru.

Benteng ini mulai dibangun tahun 1780 dengan arsitek yang tidak diketahui dengan pasti dan pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan pada seorang Tionghoa. Semen perekat bata menggunakan batu kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan ditambah dengan putih telur.
 

Waktu yang dipergunakan untuk membangun Kuto Besak ini kurang lebih 17 tahun. Keraton ini ditempati secara resmi pada Senin, 21 Februari 1797. Benteng Kuto Besak saat ini ditempati oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya.

3. Jembatan Ampera

Jembatan Ampera sebuah jembatan di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Jembatan Ampera memiliki ukuran panjang 1.117 m (bagian tengah 71,90 m), lebar 22 m, tinggi 11.5 m dari permukaan air, tinggi menara 63 m dari permukaan tanah, jarak antara menara 75 m dan berat 944 ton.

Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. 
 
Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.

Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956.

Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu.

Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.

Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia Tenggara. 
 
Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).

4. Museum Sultan Badaruddin II

Museum ini tadinya bekas peninggalan pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam yakni Sultan Mahmud Badaruddin II. Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki bentuk asli bangunan yang tidak berubah dari masa awal pendiriannya. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II berada di seberang Sungai Musi, lokasinya di Jalan Sultan Mahmud Badaruddin II No. 2, Palembang.

Museum ini berdiri di atas bangunan Benteng Koto Lama (Kuto Tengkurokato Kuto Batu) dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) memerintah. 
 
Di museum ini terdapat sekitar 556 koleksi benda bersejarah, mulai dari bekas peninggalan kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang.

Benteng ini pernah habis dibakar oleh Belanda pada 17 Oktober 1823 atas perintah I.L. Van Seven House sebagai balas dendam kepada Sultan yang telah membakar Loji Aur Rive. Kemudian di atasnya dibangun gedung tempat tinggal Residen Belanda.

Pada masa Pendudukan Jepang, gedung ini dipakai sebagai markas Jepang dan dikembalikan ke penduduk Palembang ketika proklamasi tahun 1945.  Museum ini direnovasi dan difungsikan sebagai markas Kodam II/Sriwijaya hingga akhirnya menjadi museum.

5. Kampung Kapiten

Kampung Kapitan adalah suatu wilayah yang dahulu warga keturuan Tionghoa pertama kalinya menetap di Palembang saat masih dalam jajahan. Kawasan ini berlokasi di tepi Sungai Musi. 
 
Posisi Kampung Kapitan berada di tepi Jl KH Azhari Kelurahan 7 Ulu SU I, bersebelahan dengan Pasar Tradisional 7 Ulu. Dari atas Jembatan Ampera, keberadaan Kampung Kapitan sudah bisa terlihat.

Rumah di kawasan ini menyimpan dua pengaruh budaya, yakni budaya Tiongkok dan budaya Palembang. Budaya Tiongkok bisa dilihat dari bagian dalam rumah dan bagian teras rumah. Sedangkan, budaya Palembang berupa bangunan rumah yang menyerupai limas dan terdapat tiang yang menopang berdirinya rumah.

Di Kampung Kapitan, kita bisa melihat bangunan batu pagoda. Batu pagoda ini berdiri tegak tepat di tengah lapangan beralaskan keramik di Kampung Kapitan dengan tinggi sekitar 2,5 meter.

6. Monumen Penderitaan Rakyat (Monpera)

Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) Palembang merupakan monumen yang dibangun untuk memperingati 'Perang 5 Hari 5 Malam' yang pecah pada tanggal 1 Januari 1947 antara pejuang Palembang dengan tentara Belanda yang terjadi dan berpusat di areal sekitar monumen tersebut. Monumen ini berada di dekat Jembatan Ampera dan Masjid Agung Palembang.

Pada bangunan yang berdiri kokoh di pinggir Jl Merdeka ini terdapat enam tiang yang kokoh bertautan tiga-tiga di bagian samping kiri dan kanannya, juga terpampang relief yang menggambarkan suasana pertempuran lima hari lima malam di kota Palembang melawan penjajah Belanda.

Selain itu, di dalam museum ini kita dapat melihat berbagai jenis senjata yang dipergunakan dalam pertempuran tersebut sebagai dokumen perang dan benda-benda bersejarah lainnya.

Pembangunan museum ini dibiayai oleh APBD Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan yang dilakukan secara bertahap, mulai tahun anggaran 1980/1981 sampai tahun 1987/1988.

7. Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan (Museum Balaputra Dewa)

Museum Negeri  Provinsi Sumatera Selatan “Balaputera Dewa” beralamat di Jl. Sriwijaya I No. 288 Km. 5,5, Sukaramai, Palembang 30139. Dengan luas 23.565 meter persegi.

Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) ini dibangun pada tahun 1978 dan diresmikan pada 5 November 1984. Museum yang dulu dikenal dengan Museum Balaputra Dewa ini dikelola oleh Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sumatera Selatan.

Musem ini dibangun dengan arsitektur tradisional Palembang. Di dalamnya terdapat sekitar 3.800 koleksi, terdiri berbagai macam jenis koleksi yang diklasifikasikan menjadi 10 jenis, di antaranya Geologika, Biologika, barang-barang tradisional Palembang.
 
Kemudian, ada juga ofset binatang dari berbagai daerah di Sumatera Selatan dan beberapa miniatur rumah di pedalaman. Terdapat pula replika prasasti dari arca kuno yang pernah ditemukan di Bukit Siguntang.

Koleksi arkeologi Museum Negeri Provinsi Sumsel ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga periodisasi masa, yakni masa pra sejarah, masa pra Sriwijaya dan masa Sriwijaya.

8.  Candi Bumi Ayu

Candi Bumiayu salah satu situs peninggalan agama Hindu yang terdapat di pesisir sungai Lematang, tepatnya di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan. 
 
Candi ini merupakan satu-satunya kompleks percandian di Sumatera Selatan, dan sampai saat ini tidak kurang 9 buah bangunan Candi yang telah ditemukan dan 4, di antaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, Candi 2, Candi 3 dan Candi 8.

Usaha pelestarian ini telah dimulai pada tahun 1990 sampai sekarang. Komplek Percandian Bumiayu meliputi lahan seluas 75,56 ha, dengan batas terluar berupa 7 (tujuh) buah sungai parit yang sebagian sudah mengalami pendangkalan.

Candi-candi di Bumiayu merupakan death monument, artinya monumen yang telah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Candi tersebut ditinggalkan mungkin seiring dengan terdesaknya kekuatan politik Hindu oleh Islam pada sekitar abad ke-16. 
 
Kemudian, lama kelamaan akhirnya candi-candi itu rusak dan terkubur tanah hingga ditemukan kembali oleh E.P. Tombrink tahun 1864.

Peninggalan monumental itu beserta sistem budayanya benar-benar hilang pula dari ingatan kolektif pewarisnya. Hal itu tampak bahwa penduduk Bumiayu tidak mengenal fungsinya semula. 
 
Cerita penduduk yang dicatat oleh A.J. Knaap tahun 1902 menyatakan bahwa apa yang sekarang disebut candi di Bumiayu itu adalah bekas istana sebuah kerajaan yang disebut Gedebong Undang.

Diceritakan pula, wilayah kerajaan tersebut sampai di Modong dan Babat. F.M. Schnitger melaporkan bahwa di kedua desa tersebut terdapat pula tinggalan agama Hindu, namun kini telah hilang terkena erosi Sungai Lematang. (*)
 
Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top