Sudah Ada Sejak 1839, Jami Al-Anwar Masjid Tertua dan Bersejarah di Lampung

 
Masjid Jami Al-Anwar

INDEPHEDIA.com - Meskipun beberapa kali harus direnovasi, termasuk ketika rusak berat saat Gunung Krakatau (induk) di Selat Sunda meletus dahsyat tahun 1883 lalu, Masjid Jami Al-Anwar dikenal sebagai masjid tertua yang ada di Provinsi Lampung dan sampai sekarang masih bertahan.

Masjid Jami Al-Anwar, menurut catatan dari sejumlah sumber, sudah ada sejak tahun 1839
, berdiri sebelum Gunung Krakatau meletus, atau sudah berfungsi sejak sekitar 180 tahun lalu walaupun semula hanya berupa surau atau langgar kecil.

Masjid ini berlokasi di Jalan Laksamana Malahayati No. 100, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandarlampung.

Sedikit ke pinggir dari pusat bisnis di kawasan Telukbetung, Bandarlampung, lokasi masjid tak jauh pula dari pusat belanja oleh-oleh kuliner khas Lampung di bagian seberang depannya.

Masjid ini juga memiliki banyak peninggalan bersejarah yang masih ada sampai sekarang. Tak hanya bangunannya, ada sejumlah peninggalan sejarah lain di masjid tersebut.

Karenanya, Pemerintah Provinsi Lampung melalui Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Lampung telah menetapkan masjid ini sebagai masjid tertua dan bersejarah di Bandarlampung.

Dibangun Ulama Pendatang Bugis

Catatan sejarah yang ada, masjid ini dibangun oleh ulama pendatang yang berasal dari Pulau Sulawesi dari Suku Bugis, yaitu Daeng Muhammad Ali, KH Muhammad Said, dan H Ismail. 

Semula, masjid itu masih dalam bentuk surau atau mushala yang digunakan oleh para ulama tersebut untuk perkumpulan mengaji, bersama dengan ulama dan masyarakat setempat lainnya.

Surau atau mushala ini mengalami beberapa renovasi dan perluasan bangunan, sehingga kemudian membentuk sebagai sebuah masjid. 

Awal renovasi dilakukan lima tahun setelah Gunung Krakatau meletus, sekitar tahun 1888, bersama dengan para ulama dan masyarakat dengan langsung mendirikan masjid yang lebih permanen pada  tahun itu.

Lalu, dilanjutkan lagi renovasi setelahnya, termasuk yang kemudian dilakukan pada tahun 1972, dan terakhir pada tahun 2015 lalu.

Untuk renovasinya, saat Gunung Krakatau meletus, mushalanya rusak hanya menyisakan tiang-tiangnya saja. 

Pada tahun 1888, renovasi dilakukan dengan tetap mempertahankan enam tiang yang ada. Enam tiang tersebut menggambarkan Rukun Iman.

Pada tahun 1972, renovasi dilakukan kembali dengan memperluas bangunan menjadi lebih besar karena jemaah yang datang pada saat Shalat Jumat dan hari-hari besar semakin banyak jumlahnya. 

Terakhir, perbaikan dan renovasi masjid ini dilakukan sekitar tahun 2015 sampai 2016, yang diganti atap masjid, awalnya genteng biasa menjadi seng baja.

Dibangun dengan Telur Ayam dan Kapur

Dalam buku berjudul "Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia" karya Abdul Baqir Zein tahun 1999, dijelaskan keenam tiang masjid yang dibangun pada tahun 1888 tersebut dibuat menggunakan campuran telur ayam dan kapur.

Setelahnya masjid ini dinamakan Masjid Al-Anwar yang artinya bercahaya, nama tersebut diharapkan agar masjid tersebut dapat menjadi sumber cahaya kehidupan yang dapat menerangi umat. Nama masjid itulah yang dipakai sampai sekarang.

Meskipun telah mengalami beberapa kali renovasi, ada beberapa hal yang tetap dipertahankan di masjid tersebut, seperti meriam peninggalan Belanda yang ada di depan masjid.

Kemudian, ada pula beduk hadiah dari musabaqah tilawatil quran (MTQ) yang tetap disimpan sampai sekarang, serta kitab-kitab peninggalan sejak dahulu dari berbagai bahasa yang disimpan di perpustakaan masjid ini.

Paling dipertahankan di masjid ini adalah meriam Belanda di depan yang masih ada sampai sekarang. 

Dulu belum ada sirine masjid seperti zaman sekarang, meriam itu digunakan untuk peringatan buka puasa. Kalau sekarang hanya dibuat pajangan.

Di dalam masjid ada beduk kecil, dari 1988 hasil dari MTQ Nasional di Way Halim, Bandarlampung yang disimpan di sini. 

Paling dijaga juga ada kitab-kitab kuno, peninggalan dari dulu. Kitab-kitab tersebut ada dalam beberapa bahasa, seperti Arab, Belanda, Portugis, dan beberapa bahasa lain yang sekarang masih disimpan di perpustakaan masjid ini.

Markas Pejuang Kemerdekaan di Lampung

Masjid Jami Al-Anwar bukan hanya menjadi masjid tertua di Lampung dan tempat bagi masyarakat untuk belajar mengaji sejak zaman dulu, tetapi juga menjadi tempat atau markas bagi para pejuang kemerdekaan di Lampung. 

Masjid ini selalu menjadi tempat bagi para pejuang kemerdekaan bersama dengan para ulama untuk mengatur strategi perjuangan yang dilakukan seusai shalat dan mengaji.

Didalam buku berjudul "Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia" karya Abdul Baqir Zein tahun 1999, para tokoh dan ulama yang terlibat dalam membentuk strategi perjuangan di antaranya Haji Alamsyah Ratu Prawiranegara (mantan Menteri Agama RI), Kapten Subroto, KH Nawawi, dan KH Thoha.

Selain para tokoh besar yang terlibat, dalam buku tersebut dikatakan bahwa masyarakat pun ikut bahu membahu dalam mempertahankan Bumi Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai ini, dari jajahan kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka.

Masjid Jami Al-Anwar juga sering dijadikan sebagai tempat singgah dan menginap bagi para peziarah dari luar pulau, terutama dari Pulau Jawa yang sedang berziarah ke Lampung. (*)
Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top