-->

Bagelen, Daerah Kolonisasi Pertama di Indonesia

 

Secara umum, rombongan kolonis dari Pulau Jawa yang datang ke daerah Gedong Tataan dibagi dalam 5 tahap, yaitu angkatan pertama tahun 1905, angkatan kedua tahun 1906, angkatan ketiga tahun 1907, angkatan keempat tahun 1908 dan angkatan kelima tiba tahun 1909.

INDEPHEDIA.com - Sejarah perpindahan penduduk antar pulau di Indonesia, atau lebih dikenal transmigrasi diawali semasa pendudukan pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu disebut dengan istilah kolonisasi. 

Sedangkan, mereka yang mengikuti program ini disebut kolonis. Sebagian besar masyarakat yang berkolonisasi berasal dari Pulau Jawa dan penempatannya berada di Pulau Sumatera.

Program kolonisasi di Indonesia bagian strategis dari politik etis (etische politiek) yang dicanangkan Gubernur Jenderal Van Deventer. 

Etische politiek, yakni politik balas budi terhadap rakyat yang secara garis besarnya meliputi program irigasi, edukasi dan kolonisasi itu sendiri.

Politik etis upaya strategis yang digunakan pemerintah Hindia Belanda ketika melancarkan ekspansinya ke luar Jawa, terutama yang menjadi target utamanya daerah di Pulau Sumatera. 

Usaha mereka untuk memperluas wilayah perkebunan diluar Pulau Jawa, dibangun dengan pendekatan sosiologis dan antropologis yang amat akurat.

Kolonisasi pertama di Indonesia, awal penempatannya berada di Lampung. Warga yang berasal dari Pulau Jawa ini ditempatkan ke Lampung mulai berlangsung tahun 1905. 

Saat itu, kafilah generasi pertama dibawa salah satu tokoh yang bertindak sebagai koordinator bernama Kartoredjo.

Rombongan ini disebut juga sebagai cikal bakal warga kolonisasi Desa Bagelen, Gedong Tataan angkatan pertama. 

Mereka sebagian besar terdiri dari kolonis yang berasal dari daerah Bagelen, Purworejo, Keresidenan Kedu, Jawa Tengah. 

Rombongan kolonisasi dari Jawa tersebut berpindah ke Lampung diangkut dengan kapal laut merapat di Pelabuhan Teluk Betung.

Setelah mereka tiba di Pelabuhan Teluk Betung, untuk ke lokasi  penempatan selanjutnya berjalan kaki. Daerah yang mereka tuju sebuah tempat bernama Gedong Tataan. 

Selama tiga hari rombongan ini berjalan. Barang-barang bawaan dari Jawa dipikul atau dipanggul. Bila lelah rombongan beristirahat. 

Daerah yang dituju, yaitu Gedong Tataan, ternyata masih berupa hutan belukar dan tempatnya belum banyak dihuni penduduk.
   
Rombongan kolonis angkatan Kartoredjo kala itu sebanyak 43 orang, yang 3 di antaranya perempuan. Ketiganya diberi tugas khusus untuk masak memasak. 

Ketika itu, betapa sulitnya menerobos hutan. Jalan yang mereka lewati masih berupa jalan setapak. 

Sementara, perkampungan penduduk pribumi Lampung yang ada di daerah ini kebanyakan masih perdusunan/pedukuhan dan umbul-umbul.
 
Setibanya ke tempat tujuan, mulai mereka menebangi pohon-pohon dan semak belukar di areal yang dituju. 

Untuk selanjutnya, setelah daerah penempatan sudah terbuka, secara bertahap kolonis-kolonis ini membangun tempat tinggal masing-masing dengan berdindingkan papan atau kayu serta beratapkan rumbia/alang-alang.

Kedatangan para kolonis dari daerah Bagelen, Purworejo, Kedu, Jawa Tengah ke Gedong Tataan, dalam penempatannya memang tidak terjadi sekaligus. 

Rombongan datang secara berangsur-angsur selama kurun waktu beberapa tahun. Seiring itu pula, disiapkan areal atau lahan pemukiman yang dilakukan rombongan pendahulunya.

Hadirnya kolonis dengan tempat tinggal mereka, membuat tumbuh perkampungan baru di daerah ini. 

Tempat yang tadinya jarang penduduknya dan masih banyak ditumbuhi pepohonan serta semak belukar di mana-mana itu lambat laun mulai lebih banyak yang bermukim.

Setelah kedatangan kolonis ke daerah ini, perkembangan bukaan baru terus mengalami kemajuan. 

Bukan hanya dalam hal tingkat keramaian maupun bangunan fisik saja, tetapi juga daerah yang ada berangsur-angsur semakin terbuka. Penduduk kolonis pun makin bertambah. 

Sebagai warga pendatang, mereka mau bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup serta membangun daerahnya walaupun ketika itu segala sesuatu masih serba terbatas.   

Secara umum, rombongan kolonis dari Pulau Jawa yang datang ke daerah Gedong Tataan dibagi dalam 5 tahap.

Angkatan pertama datang tahun 1905, angkatan kedua tahun 1906, angkatan ketiga tahun 1907, angkatan keempat tahun 1908 dan angkatan kelima tiba tahun 1909. 

Ini berarti kedatangan rombongan kolonis direncanakan pemerintah Hindia Belanda selama kurun waktu 5 tahun berturut-turut.

Selanjutnya, tahun 1910 pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan kebijakan dengan menyerahkan tanah-tanah di Desa Bagelen, Gedong Tataan, kepada rakyat desa untuk 537 bauw atau sekitar 424 hektar. 

Setiap kepala keluarga (KK) mendapat bagian tanah 1 bauw. Dengan perincian, 0,25 bauw untuk pekarangan dan 0,75 bauw untuk persawahan atau perladangan.

Secara garis besarnya, berdasarkan monografi Desa Bagelen, Gedong Tataan, jumlah rombongan warga kolonisasi asal daerah Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah, yang didatangkan ke wilayah Gedong Tataan secara bergelombang.

Rombongan pertama tiba ke Gedong Tataan tahun 1905 sebanyak 43 orang, terdiri dari 40 orang laki-laki dan 3 perempuan yang dipimpin oleh Tuan Eteeng.

Tahun 1906, atau rombongan kedua menyusul sebanyak 203 orang atau 100 kepala keluarga (KK) yang dipimpin Tuan Heers. 

Tahun 1907, datang lagi sebanyak 100 orang atau 50 KK. Rombongan ketiga ini dipimpin Tuan Alweek. 

Rombongan keempat tahun 1908 menyusul sebanyak 500 orang atau 250 KK yang dipimpin Tuan Baang. 

Rombongan kelima tahun 1909, jumlah jiwa yang didatangkan tidak jelas. Begitu pula yang memimpin rombongannya.

Dari kelima gelombang yang diketahui, kedatangan kolonis terbanyak rombongannya didatangkan tahun 1908. 

Rombongan yang dipimpin Tuan Baang ini jumlahnya mencapai 250 kepala keluarga atau sebanyak 500 jiwa. 

Sementara, rombongan yang sedikit tiba di gelombang pertama tahun 1905 yang dipimpin Tuan Eteeng. 

Para kolonis yang didatangkan bersama Tuan Eteeng ke daerah Gedong Tataan hanya berjumlah 43 jiwa, yang 3 diantaranya wanita. 

Berdasarkan pembagian atas tanah kepada setiap kepala keluarga, rumah-rumah penduduk kolonis di areal yang dibuka dibuat bersusun dengan posisi berjejer serta dibatasi jalan penghubung. 

Uniknya, jalan-jalan yang ada di desa ini rata-rata berbentuk pertigaan (simpang tiga) dan sejumlah persimpangan yang membujur lurus hingga ke pertigaan berikutnya.

Perkampungan warga kolonis di Gedong Tataan dari masa ke masa terus mengalami perkembangan. 

Sejak tahun 1905 hingga 6 Juni 1987, Desa Bagelen terdiri dari 10 (sepuluh) pedukuhan, masing-masing Pedukuhan Bagelen I, Bagelen II, Bagelen III, Bagelen IV dan Bagelen V (Jembarangan).

Kemudian, Bagelen VI (Kutoarjo I), Bagelen VII (Kutoarjo II), Bagelen VIII (Karang Anyar I), Bagelen IX (Karang Anyar II) dan Pedukuhan Bagelen X (Wonorejo).                     

Ketika Budi Utomo sebagai organisasi modern pertama di Indonesia yang berdiri tanggal 20 Mei 1908, yang merupakan tonggak sejarah permulaan mulainya pergerakan nasional, tidak terlihat adanya tanda-tanda organisasi ini berpengaruh besar di Lampung, terutama di Desa Begelen, Gedong Tataan. 

Pengikut Budi Utomo di daerah ini belum nampak, meski di sini sebelum maupun sesudahnya telah berlangsung kolonisasi sejak tahun 1905 hingga 1909.

Hal ini dapat dipahami, mengingat para penduduk asal Jawa yang berkolonisasi ke wilayah Pesawaran waktu itu kebanyakan rakyat biasa yang belum faham benar dalam berorganisasi. 

Mereka tidak untuk dididik maupun diberikan kebebasan dalam mengikuti suatu organisasi. 

Sementara, Budi Utomo umumnya banyak bergerak dikalangan terpelajar, kaum bangsawan maupun priyayi-priyayi yang kesemuanya itu dapat digolongkan sebagai kaum elite.

Meskipun demikian, terlepas dari tonggak pergerakan nasional di Pulau Jawa, kedatangan ratusan jiwa kolonis asal Jawa Tengah (Jateng) ke daerah ini juga menjadi babak baru. 

Pembauran masyarakat antar pulau di Tanah Air ini terjadi sebelum adanya program pemerintah Republik Indonesia (RI) yang dikenal dengan sebutan transmigrasi.

Perkembangan jumlah jiwa penduduk yang terus bertambah dari waktu ke waktu, membuat desa itu semakin ramai. 

Pertambahan jiwa ini, tidak hanya disebabkan dengan kedatangan rombongan kolonis dalam beberapa tahap, tapi perkembangannya juga dari keturunan-keturunan selanjutnya. 

Semenjak tanggal 6 Juni 1987, Desa Bagelen telah dimekarkan menjadi beberapa desa yang wilayahnya, terdiri dari sejumlah pedukuhan, antara lain Pedukuhan Bagelen I, Bagelen II, Bagelen III dan Bagelen IV.

Adapun kepala desa (Kades) yang pernah memimpin Desa Bagelen, Kecamatan Gedong Tataan, antara lain Poerwo (1905-1907), Kartoredjo (1907-1912), Sastro Sentiko (1912-1920), Pawiro Tinoyo (1920-1945) dan Mangunrejo (1945-1958).

Kemudian periode berikutnya dilanjutkan Sastro Suwarno (1958-1968), Suparman (1968-1970), Ahmad Fariji (1970-1980), Toyo Day Rizal (1980-1988), Wagiso (1988-2006) dan Edi Supriyanto (2006 hingga periode 2013). (***)

Sumber: Buku "Kabupaten Pesawaran Dalam Untaian Sejarah", Penulis: Akhmad Sadad (Pendiri INDEPHEDIA.com). Penerbit: Pemerintah Kabupaten Pesawaran, 2010-2011.


Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top