Sejarah dan Kebudayaan Suku Ambon

 
Tari Lolyana, Ambon, Maluku
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam, pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.

INDEPHEDIA.com - Ambon merupakan suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang terletak di Provinsi Maluku. 

Kepulauan Maluku sebuah kepulauan di sebelah timur Sulawesi dan sebelah timur kepulauan Timor atau Nusa Tenggara serta di sebelah barat Pulau Papua di Indonesia.

Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.

Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni al-muluk. Penamaan tersebut dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku para sarjana geografi Arab. Tapi, setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah menjadi Maluku.

Maluku didominasi ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. 

Sementara itu, suku pendatang yang mendiami Maluku kebanyakan berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab.

Maluku juga memiliki ikatan tradisi dengan bangsa-angsa kepulauan pasifik seperti bahasa, lagu daerah, makanan, perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik.

Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat. 

Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di Indonesia dikarenakan aktivitas utama mereka merupakan aktivitas laut, seperti berlayar dan berenang.

Suku bangsa Alifuru, dikenal sebagai suku bangsa asli Kepulauan Maluku, sebuah kelompok etnis Indonesia dari campuran Austronesia-Papua. 

Suku bangsa Alifuru mendiami kepulauan bernama Kepulauan Maluku, termasuk pulau atau kota Ambon.

Bahasa umum di kepulauan tersebut adalah Bahasa Melayu Maluku atau juga disebut Bahasa Ambon. 

Bahasa tersebut berkembang menjadi bahasa komunikasi sehari-hari perdagangan di Maluku. 

Sementara itu, untuk bahasa komunikasi komunitas lokal, terdapat lebih dari 200 bahasa lokal, dan 1 bahasa ibu (induk), yaitu bahasa tana(h) atau kapata.

Pendukung kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada.

Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. 

Salah satunya, filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. 

Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki nlai umum dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku.

Sistem Kekerabatan dan Perkawinan


Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola menetap patrilokal. 

Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal.

Mata rumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat patrilineal.

Di samping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga kesatuan lain yang lebih besar dan bersifat bilateral, yaitu famili atau kindred. 

Famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli, yaitu semua keturunan keempat nenek moyang.

Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan, yaitu kawin lari, kawin minta dan kawin masuk. 

Kawin Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini terutama disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jarak pendek untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara. 

Kawin lari sebenarnya tidak diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat wanita namun disukai oleh pihak pemuda.

Bentuk perkawinan kedua adalah Kawin Minta yang terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang hendak dijadikan istri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. 

Kemudian, mereka mengumpulkan anggota famili untuk membicarakan masalah itu dan membuat rencana perkawinan.

Di sini diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan sebagainya. 

Akan tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya kurang diminati terutama bagi keluarga yang kurang mampu karena membutuhkan biaya yang besar.

Sementara, bentuk perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin Manua. Pada perkawinan ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga wanita.

Busana Tradisional Ambon

Meskipun busana adat yang biasa dipakai dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari termasuk jarang digunakan lagi saat ini, keberadaannya tetap penting untuk diungkapkan sebagai gambaran kekhasan busana mereka di masa lalu. 

Ada beberapa contoh busana yang pada zaman dahulu pernah menjadi busana sehari-hari yang digunakan untuk bekerja atau di rumah.

Celana kes atau hansop, yakni celana anak-anak yang dibuat dari beraneka macam kain dan dijahit sesuai dengan selera masing-masing.

Kebaya manampal, yaitu kebaya cita berlengan hingga sikut yang dijahit dengan cara menambal beberapa potong kain yang telah diatur dan disusun sedemikian rupa dengan rapih. 

Kebaya jenis ini bisanya berpasangan dengan kain palekat, yang sudah tidak dipakai untuk berpergian oleh kaum wanita.

Kebaya manapal yang sudah tampak jelek atau sudah tidak pantas lagi untuk dikenakan di rumah, biasanya dipakai sebagai busana kerja yang disebut kebaya waong. 

Bila mereka akan bepergian, jenis busananya masih tetap berupa kebaya cita berlengan panjang hingga ujung jari yang kemudian dilipat, lengkap dengan kain pelekat.

Selain busana sehari-hari yang telah disebutkan tadi, masih ada lagi busana lain yang khususnya dipakai untuk kaum wanita yang merupakan pendatang dari kepulauan Lease dan telah menetap di Ambon ratusan tahun lamanya. 

Mereka biasanya mengenakan baju cele, yakni sejenis kebaya berlengan pendek, dari bagian leher ke arah dada terbelah sepanjang 15 sentimeter tanpa  kancing.

Bila akan bepergian, mereka akan melengkapinya dengan sapu tangan. Untuk busana kerja di rumah atau di kebun, baju cele tersebut dijahit dengan panjang lengan hingga sikut, atau masyarakat menyebutnya baju cele tangan sepanggal. 

Sementara itu, kaum pria di Ambon mengenakan busana, yang terdiri atas baju kurung yang berlengan pendek dan tidak berkancing.

Sedangkan, celananya bernama celana kartou, yakni celana yang pada bagian atasnya terdapat tali yang dapat ditarik dan diikatkan.

Khusus untuk kaum pria yang telah lanjut usia, celana yang dipakainya disebut celana Makasar yang panjangnya sedikit di bawah lutut dan sangat longgar. 

Sementara, busana yang dikenakan pada saat bepergian, biasanya baju baniang, yakni baju berbentuk kemeja yang berlengan panjang dan berkancing, dengan leher agak tertutup. 

Pasangan baju baniang ini adalah celana panjang berikut topi yang dikenakan di kepala.

Penampilan gaya berbusana warga masyarakat Ambon pada saat menghadiri upacara adat clan upacara keagamaan berbeda dengan yang dikenakan sehari-hari. 

Walaupun model bajunya sama, tapi kualitas bahan yang digunakan berbeda. Busana adat yang dikenakan dalam kesempatan tersebut biasanya hitam polos atau warna dasar hitam. 

Kecuali pada saat upacara sidi, yakni upacara pengukuhan pemuda clan pemudi untuk menjadi pengiring Kristus yang setia. Pada saat itu, busana hitam ini ditabukan atau dilarang digunakan.

Busana dalam upacara keagamaan biasanya lebih lengkap lagi. Busana wanitanya terdiri atas baju dan kain hitam atau kebaya dan kain hitam. 

Busana ini dilengkapi dengan kaeng pikol, yakni kain hitam berhiaskan manik-manik yang disandang di bahu kiri. 

Kole, yakni baju dalam atau kutang yang dipakai sebelum mengenakan baju atau kebaya hitam.

Lenso pinggang, yakni sapu tangan berwarna putih yang kini telah jarang diletakkan di pinggang melainkan hanya dipegang saja.

Sementara itu, busana prianya dalam upacara ini terdiri atas baniang, kebaya hitam dan celana panjang. 

Jenis busana lain, khususnya dalam upacara sidi, dipakai oleh kaum remaja yang berasal dari golongan bangsawan, di antaranya baju tangan kancing, yakni baju cele berlengan panjang dengan kancing pada pergelangan tangannya.

Kemudian, busana rok, yang terdiri atas kebaya putih berlengan panjang dan berkancing pada pergelangannya, pending pengikat pinggang yang terbuat dari perak dan 
bersepatu dengan kaus kaki putih. 

Seperangkat busana lainnya, terdiri atas baju putih panjang, sepatu berwarna putih, dan kaus tangan berwarna putih.

Adapun busana yang dikenakan pada saat berlangsung upacara adat, seperti pelantikan raja, pembersihan negeri, penerimaan tamu, dan lain-lain pada dasarnya hampir sama. 

Hanya saja dalam upacara adat tersebut ada penambahan tertentu pada kelengkapan busana mereka.

Busana raja terdiri atas baju hitam, celana hitam, lenso bodasi dililitkan di leher, patala disalempang di dada, patala di pinggang, dan topi. 

Begitu pula kaum wanitanya yang memakai baju hitam seperti baju cele. Paratua-tua adat mengenakan baju hitam, celana panjang atau celana Makasar, salempang, ikat poro atau ikat pinggang. 

Sedangkan, pria dewasa lainnya hanya mengenakan baju hitam dan celana panjang hitam tanpa menggunakan alas kaki.

Alat Musik

Alat Musik Tifa

Tifa merupakan alat musik khas dari Maluku dan Papua. Tifa mirip dengan alat musik gendang yang dimainkan juga dengan cara dipukul. 

Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi. 

Biasanya, penutupnya digunakan kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. 

Bentuknya pun biasanya dibuat dengan ukiran. Setiap suku di Maluku dan Papua memiliki tifa dengan ciri khas nya masing-masing.

Tifa biasanya digunakan untuk mengiringi tarian perang dan beberapa tarian daerah lainnya, seperti tari Lenso dari Maluku yang diiringi juga dengan alat musik totobuang, tarian tradisional suku Asmat dan tari Gatsi.

Alat musik tifa dari Maluku memiliki nama lain, seperti tahito atau tihal yang digunakan di wilayah-wilayah Maluku Tengah. 

Sedangkan, di Pulau Aru, tifa memiliki nama lain, yaitu titir. Jenisnya ada yang berbentuk seperti drum dengan tongkat yang seperti yang digunakan di Masjid. 

Badan kerangkanya terbuat dari kayu yang dilapisi rotan sebagai pengikatnya dan bentuknya berbeda-beda berdasarkan daerah asalnya.

Alat Musik Ukulele

Ukulele alat musik sejenis gitar namun lebih kecil ukurannya, sekitar 20 inci. Ukulele alat musik asli Hawaii yang ditemukan pada tahun 1879. 

Konon Ukulele ditemukan pada tahun 1879, pada waktu itu suatu perjalanan para imigran Portugis dari Madeira (Azores) yang berjumlah sekitar 20.000 orang tiba di Honolulu, Hawaii. 

Mereka bekerja sebagai buruh diperkebunan tebu. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan, Joao Fernandes, bermaksud merayakan kedatangan para imigran itu. 

Setelah merapat di di dermaga Honolulu, Joao memainkan sebuah alat musik petik bernama braginho sambil menyanyikan lagu-lagu tanah kelahirannya. 

Orang-orang asli Kepulauan Hawaii yang berada di dermaga itu langsung dibuat kagum dengan suara unik Braginho. Sejak itu, kepopuleran Braginho cepat menyebar di seluruh Hawaii.

Ratu Kerajaan Hawaii, Liluokalani, menyebut alat musik tersebut dengan nama Ukulele. Dalam bahasa Hawaii uku berarti hadiah dan lele yang berarti datang ke sini. 

Ukulele pun menjadi alat musik pengiring upacara kerajaan dan tarian-tarian Hawaii. Penyebaran Ukulele pun berkembang hingga ke Indonesia. Ukulele dibawa ke Pulau Ambon.

Tarian Tradisional

Tari Katreji

Tari Katreji adalah tarian asal Portugis dipakai untuk acara ramah tamah. Tarian Katreji merupakan salah satu tarian khas dari daerah Ambon. 

Tarian ini juga merupakan penggambaran pergaulan anak muda. Tari Katreji dimainkan secara berpasangan antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik dan menarik.

Tari ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji juga merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya Maluku. 

Hal ini lebih nampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses biligualisme.

Tarian Katreji diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa dan bas gitar, dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih menonjol. 

Tarian ini biasanya dibawakan saat pembukaan pesta seperti kawinan, perayaan hari-hari besar Maluku atau perayaan atau upacara adat.

Selain Katreji, pengaruh Eropa yang terkenal adalah Polonaise yang biasanya dilakukan orang Maluku pada saat perkawinan. 

Tarian ini dibawakan oleh setiap anggota pesta tersebut dengan berpasangan, membentuk formasi lingkaran serta melakukan gerakan-gerakan ringan yang dapat diikuti setiap orang, baik tua maupun muda.

Tari Orlapei

Tari Orlapei adalah tarian penyambutan para tamu kehormatan pada acara-acara negeri atau desa di Maluku. 

Tarian yang tampak mempesona ini menggambarkan suasana hati yang gembira dari seluruh masyarakat atas kedatangan tamu kehormatan di negeri atau desanya. 

Selain itu, tarian yang diiringi alat musik tradisional rakyat Maluku, yakni tifa, suling bambu, ukulele dan gitar, menjadi ungkapan selamat datang.

Kombinasi pola lantai, gerak, ritme musik, memperkuat ungkapan betapa seluruh masyarakat setempat merasa senang dengan hadirnya tamu kehormatan. 

Tarian yang dimainkan begitu serasi, energik, dan dinamis, memancarkan aura persahabatan, perdamaian dan kebersamaan

Tarian ini sering digunakan masyarakat pada acara adat tertentu, termasuk menyambut kehadiran tamu-tamu asing dan pejabat daerah yang melakukan kunjungan resmi.

Para pendukung tari terdiri dari 15 orang pria dan wanita dipimpin seorang kapitan (panglima perang) menggunakan tombak, parang dan salawaku (perisai), menari-nari sambil diiringi tabuhan tifa dan totobuang.

Tarian ini memiliki filosofi peperangan, maka dari itu warna pakaian yang dipilih bagi penari pria adalah merah yang berarti berani dan bersemangat. 

Selain itu, warna merah juga melambangkan jiwa patriotisme serta heroisme kepada tanah Maluku.

Tari Lolyana

Maluku juga punya Tari Lolyana, seni budaya masyarakat Kepulauan Teon Nila, Serua. Tarian ini mengangkat upacara panen lola ke dalam bentuk pertunjukan. 

Umumnya, Tari Lolyana ditarikan oleh Gadis Ambon Manise, Lolyana sendiri kata umum yang dipakai untuk pekerjaan untuk mengumpulkan salah satu hasil laut, lola. 

Panen lola ini dilaksanakan setelah sasi lola dibuka secara resmi oleh ketua agama dan pemangku adat setempat. (BD/R-01)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top