Festival Budaya dan Etnis di Tanjungpinang, Suku Sasak Tampilkan Peresean

 


Pertarungan antara dua lelaki berikat kepala sapuk dan pinggang berlilitkan kain atau dodot (ikat pinggang) di atas panggung itu saling mengganas memukul satu sama lainnya.

INDEPHEDIA.com - Suara gending gamelan terdengar dari kejauhan. Sahut-sahutan suling bambu, tabuhan gendang, dan pukulan gong semakin kencang. Kerumunan orang datang ke depan panggung untuk mendekat. Sorak sorai penonton membakar semangat petarung di atas pentas.

Pertarungan antara dua lelaki berikat kepala sapuk dan pinggang berlilitkan kain atau dodot (ikat pinggang) di atas panggung itu saling mengganas memukul satu sama lainnya. Di tangan mereka memegang senjata penjalin dan dilengkapi dengan perisai yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau untuk melindungi diri dari serangan lawan.

Tak sungkan-sungkan untuk saling menyerang, luka bekas sebatan pun terlihat memerah hingga kebiruan di tubuh para petarung. Sementara sang wasit sibuk mengiringi para jawara yang tengah beradu kekuatan.

Pria-pria gagah tersebut berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ternyata adu ketangkasan dan kekuatan ini  merupakan aksi dari Peresean atau perang Gebuk Rotan, tradisi khas turun temurun dari pulau yang terkenal dengan sebutan Seribu Masjid itu.

Perlagaan dari Suku Sasak ini hadir di Festival Budaya dan Etnis di Lapangan Pamedan Ahmad Yani. Digelar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Selasa (30/4/2019) kemarin.

Penasehat Persatuan Perkumpulan NTB, Imran mengatakan, pertunjukan ini merupakan bagian dari festival. Mereka salah satu paguyuban yang berada di Tanjungpinang dan diberi kesempatan Disbudpar untuk mementaskan dan memperkenalkan budaya yang dimiliki daerahnya kepada masyarakat Tanjungpinang.

“Kami mengisi acara ini dan diminta oleh Dinas Pariwisata Tanjungpinang. Ini kami lakukan secara sukarela. Sekaligus memperkenalkan kepada seluruh masyarakat tradisi yang kami punya,” kata Imran, seperti mengutip GenPI, Rabu (1/5/2019).

Menurut Imran, Paguyuban NTB ini telah lama tumbuh dan berkembang di Kota Gurindam. Mereka berasal dari berbagai penjuru di Lombok. “Jika dikumpulkan kami banyak sekali. Bisa lebih dari seribu orang,” jelasnya. (NW.IN/*)
Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top