Politik Etis dan Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia (4)

 

Boedi Oetomo


INDEPHEDIA.com - Kebijakan strategis yang diluncurkan pemerintah Hindia Belanda kala itu mendapatkan respon positif dan negatif. Demikian juga dengan kebijakan Trilogi van Deventer. Berbagai anggapan terlontar dari sejumlah pihak.

Kalangan konservatif, terutama mesin birokrasi pemerintah Belanda misalnya, seperti bupati maupun jajarannya, sejak awal memang banyak yang sangat tidak setuju dengan arah dan kebijakan ini. Sebab, mereka kuatir kelak kemudian hari jabatannya akan tergeser dan kehilangan kekuasaan.

Dalam berpendapat, para konservatif lebih memilih kebijakan yang elitis di bidang pendidikan, misalnya hanya memberikan kesempatan kepada kaum priyayi untuk masuk ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda.

Snouck Hurgronje dan J. H. Abendanon, pejabat Menteri Pendidikan, Agama dan Kerajinan memilih pendekatan yang elitis ini. Walau dalam skala lokal dan masih terbatas, sejak itu pula sekolah-sekolah mulai dibangun di Indonesia.

Sebaliknya, lahirnya kaum liberal lebih menyokong kebijakan yang populis dengan memberikan kesempatan kepada orang-orang pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan.

Hal itu dengan tujuan, antara lain agar menekan beban biaya-biaya pemerintah. Karena para pegawai yang dihasilkan dari kalangan pribumi akan digaji lebih murah, mengurangi sikap fanatisme dari kelompok Muslim tradisional, sekaligus dapat memberikan contoh kepada masyarakat kelas menengah ke bawah tentang hidup modern ala Barat.

Oleh karena itu, Menteri Tanah Jajahan, Idenburg dan Gubernur Jenderal van Heurtz (1904–1909) lebih memilih kebijakan populis ini. Kebijakan yang ditempuh, dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat kelas bawah untuk dapat memasuki sekolah-sekolah yang didirikan Belanda dan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah dimaksud.

Kebijakan terhadap dunia pendidikan di Indonesia dalam kanca politik etis, dalam perkembangannya walau bagaimanapun juga sedikit banyaknya telah meningkatkan jumlah siswa sekolah desa atau sekolah rakyat secara signifikan.

Jumlah siswa sekolah desa sebanyak 110.000 siswa tahun 1900, meningkat menjadi 780.000 tahun 1920. Kemudian, bertambah lagi hampir tiga kali lipat menjadi 2.200.000 siswa tahun 1940.

Tahun 1908, ketika pejabat pangreh praja (pamong praja) justru lebih banyak memikirkan kepentingan diri sendiri dan jabatan serta rela menindas bangsanya sendiri, sekelompok pelajar di Pulau Jawa asyik berdiskusi di perpustakaan School tot Opleding van Inlandsche Arsten (Stovia).

Siapa yang bakal menyangka kalau diskusi mereka ini menjadi awal dari kesepakatan persatuan suku-suku bangsa yang ketika itu masih berada didalam cengkraman penjajahan Hindia Belanda.

Beberapa pelajar tersebut, antara lain Soetomo, Goembrek, Saleh, Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeleman. Mereka kerap terlibat diskusi serta merumuskan cara memperbaiki keadaan anak bangsa.

Pemuda-pemuda itu meyakini, orang-orang mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan sendiri dan tidak mau mengajak. Bahkan, di dalam kelompoknya cenderung tidak menerima keberadaan kelompok lain.

Orang Jawa, hanya berkumpul sesama penduduknya di Pulau Jawa. Perkumpulan ekslusif seperti Tiong Hoa Hwee Koan, cuma bagi orang-orang Tionghoa dan Indische Bond, untuk orang Indo-Belanda.

Para pemuda itu meyakini betul, ketiadaan persatuan antara sesama anak jajahan, dikarenakan usaha dan politik devide et impera benar-benar sukses ditanamkan Belanda kepada rakyat.

Dari diskusi-diskusi yang sering dilakukan, Soetomo Cs kemudian sampai di sebuah kesimpulan. Selagi zonder kesadaran untuk bersatu belum ada, tidak mungkin Belanda dapat diusir dan rakyat menjadi maardjikers (orang merdeka).

Selama ini, kebanyakan masing-masing kelompok berjalan sendiri-sendiri. Jarang ada niat untuk bersama-sama memecahkan persoalan.

Akhirnya, anak-anak muda itu mengambil sebuah langkah ke depan dan memprakarsai suatu bentuk perjuangan baru. Jalan yang digagas tidak ada kata lain selain bersatu.

Berkat kesepakatan, langkah selanjutnya Soetomo dan kawan-kawan menggagas untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang mempersatukan semua orang Jawa, Sunda dan Madura. Diharapkan, kelompok tersebut nantinya bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya.

Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif. Tapi, terbuka untuk umum dan bagi siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan atau pendidikannya.

Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang cuma tinggal di Pulau Jawa dan Madura. Hal ini bukan berniat menjadikan Jawa sebagai pusat gerakan eksklusif.

Mereka menyadari, tidak semua daerah jajahan Belanda bisa diketahui nasibnya, dikarenakan kolonial Belanda telah menguasai suatu wilayah jajahan yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie).

Adanya perbedaan nasib, keadaan, sejarah dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, menjadi alasan utama bagi Soetomo Cs untuk memutuskan berkonsentrasi di Jawa dan Madura.

Hari Minggu pagi, 20 Mei 1908, bertempat di salah satu ruang belajar Stovia, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan, masa depan bangsa dan tanah air ada di tangan para pemuda. Maka lahirlah Boedi Oetomo.

Akan tetapi, anak-anak muda ini juga menyadari tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi.

Oleh karena itu, mereka berpendapat dan sampai pada satu kesimpulan “kaum tua”-lah yang harus memimpin Budi Utomo. Sedangkan, para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.

Sepuluh tahun pertama, Budi Utomo sempat mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Ketuanya, memang kebanyakan para pemimpin berasal kalangan priyayi atau para bangsawan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo) dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.

Budi Utomo, mengalami fase perkembangan cukup penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, EF. E. Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat pro perjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata “politik” ke dalam tindakan yang nyata.

Berkat pengaruh Dekker pula, pengertian mengenai tanah air Indonesia makin lama semakin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang-orang Jawa, maka muncul Indische Party yang sebelumnya memang sudah lama dipersiapkan EF. E. Douwes Dekker melalui aksi persnya.

Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya, tanah air Indonesia di atas segala-galanya. (*)

Bersambung Bagian 5

*) Dikutip dari Buku "Land Use Planning, Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia", Penulis: Akhmad Sadad (Pemimpin Redaksi Indephedia.com / Pendiri Iphedia Network).


Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top