Kawasan Percandian Bumiayu, Peninggalan Sriwijaya di PALI

 
Kawasan Percandian Bumiayu pertama kali ditemukan dan dilaporkan oleh E.P. Tombrink pada tahun 1864 dalam Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang. 

INDEPHEDIA.com - Kawasan Percandian Bumiayu atau dikenal Candi Bumiayu yang terletak di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Provinsi Sumatera Selatan, merupakan peninggalan era Kerajaan Sriwijaya, bahkan diduga lebih tua dari Sriwijaya. 

Sebelumnya, situs yang berada di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten PALI itu, hanya disebut sebagai candi saja, tidak diketahui pasti kegunaan kawasan percandian tersebut di masa lampau. 

Tapi, setelah ekskavasi dilakukan secara bertahap terhadap penemuan situs ini, lambat laun fungsi kawasan itu mulai terungkap meski masih harus dilakukan penelitian yang lebih mendalam. 

Berada di Pinggir Sungai

Berdasarkan kajian arkeologis, Kawasan Percandian Bumiayu memiliki luas 210 hektar. Letak astronomis kawasan percandian ini berada pada 3*19’5,59″ Lintang Selatan dan 104*5’5,4 Bujur Timur.

Kawasan percandian ini berada di meander Sungai Lematang dengan batas-batas, sebelah timur berbatasan dengan Sungai Lematang dan sebelah selatan dengan Sungai Lubuk Panjang.

Kemudian, sebelah barat kawasan tersebut berbatasan dengan Sungai Tebat Siku dan sebelah utara berbatasan dengan Sungai Tebat Jambu. 

Ditemukan E.P. Tombrink

Kawasan Percandian Bumiayu pertama kali ditemukan dan dilaporkan oleh E.P. Tombrink pada tahun 1864 dalam Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang. 

Dalam kunjungannya di daerah Lematang Ulu, dilaporkan adanya kepurbakalaan bercorak Hindu, berupa arca dari trasit berjumlah 26 buah. Salah satu di antaranya Arca Nandi. 

Sedangkan, di daerah Lematang Ilir, masih di sekitar kawasan percandian ditemukan reruntuhan candi dekat Dusun Tanah Abang dan sebuah relief burung kakak tua.

Sejak penemuan itu, beberapa tahun kemudian seorang kontrolir Belanda bernama AJ. Knaap melaporkan bahwa di wilayah Lematang ditemukan sebuah reruntuhan bangunan bata setinggi 1,75 meter. 

Keraton Gedebong Udang

Berdasarkan informasi yang diperoleh pada saat itu, reruntuhan tersebut merupakan bekas Keraton Gedebong Udang. Pada tahun yang sama dilakukan awal penelitian Kawasan Percandian Bumiayu. 

Selanjutnya, penelitian dilakukan secara terus menerus oleh peneliti asing, antara lain JLA Brandes pada tahun 1904 dan Westenenk pada tahun 1923. 

Hasil penelitian yang lebih spesifik terhadap Kawasan Percandian Bumiayu dilakukan pada tahun 1930 oleh Van Den Bosch. 

Dalam majalah Oudheidkundig Verslag menyebutkan bahwa di Tanah Abang ditemukan sudut bangunan dengan hiasan mahkluk Ghana dari terakota.

Selain itu, di kawasan ini ditemukan pula sebuah kemuncak bangunan berbentuk seperti lingga, anterfiks dan sebuah arca tanpa kepala.

Schnitger pada tahun 1936 melakukan penelitian di kawasan itu dan dalam penelitiannya ia berhasil menemukan 3 buah reruntuhan bangunan bata.

Dalam penelitian itu juga ditemukan benda-benda bersejarah lainnya, seperti fragmen arca siwa, 2 buah kepala Kala, fragmen arca singa dan sejumlah bata berhiaskan burung.

Penelitian Secara Intensif

Pasca kemerdekaan, penelitian dilakukan Puslitarkenas bekerjasama dengan Pennsylvania University, yang diawali tahun 1973. Penelitian ini menemukan 3 buah reruntuhan bangunan terbuat dari bata.

Penelitian oleh Puslitarkenas dilanjutkan lagi pada tahun 1976, yang berhasil menemukan lagi 3 buah reruntuhan bangunan. 

Penelitian secara intensif dilakukan kembali oleh Puslitarkenas bekerjasama dengan Ecole Francaise Orient (EFEO) pada tahun 1992, meliputi penelitian geologi dan biologi. 

Hasil dari penelitian ini adalah situs tersebut dikelilingi oleh parit yang berhubungan dengan Sungai Lematang.

Pada tahun 1992, upaya pelestarian mulai dirintis oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. 

Dengan melakukan studi kelayakan, hasilnya direkomendasikan layak pugar bagi delapan (8) buah reruntuhan bangunan candi di kawasan ini. 

Pada saat itu, untuk mengidentifikan temuan lembaga tersebut juga melakukan penomoran terhadap reruntuhan-reruntuhan bangunan yang ditemukan.

Sejak tahun 1993 Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi secara berkesinambungan melakukan upaya-upaya pelestarian di Kawasan Percandian Bumiayu. 

Pelestarian itu, antara lain zonasi kawasan, inventarisasi, study konservasi, pemugaran, pembuatan sarana penunjang serta penempatan juru pelihara situs dan tenaga pengamanan situs.

Struktur Bata Candi dan Arca

Sampai saat ini, di Kawasan Percandian Bumiayu telah ditemukan sebanyak 11 buah struktur bata. Namun, yang sudah dilakukan pemugaran sebanyak 5 buah.

Kelima struktur bata tersebut, yaitu candi 1 (tahun 1992), candi 2 (tahun 2009), candi 3 (tahun 1997), candi 7 (tahun 2009) dan candi 8 (tahun 2000).

Adapun arca-arca yang ditemukan di Candi Bumiayu, di antaranya Arca Siwa, Arca Dewa 1, Arca Dewa 2, Arca Agastya, Arca Singa, Arca Camundi dan Arca Nandi yang merupakan kendaraan Dewa Siwa.

Kemudian, di kawasan ini ditemukan juga Relief Burung Kakak Tua, Kepala Kala Candi 8, Peripih Nawasanga Candi 1, Makara Candi 8, Jaladwara Candi 8, Inskripsi, Lingga, Yoni dan Stambha. (*)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top