Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam

 


INDEPHEDIA.com - Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-12 Masehi menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. 

Kerajaan Sriwijaya yang juga disebut kerajaan maritim itu runtuh akibat dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa. 

Ketika Sriwijaya runtuh sebagai pusat niaga, maka lahirlah suatu daerah atau kota yang dalam ejaan China disebut dengan sebutan Palinfong --yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kota Palembang.

Sepeninggalan Sriwijaya, kota ini tetap eksis sebagai kota niaga yang di dalamnya masih terdapat suatu tumpuan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang masih dikenal sebagai Ku-kang (dalam bahasa China) atau Pelabuhan Lama. 

Kota Palembang menjadi tumpuan pelabuhan internasional yang secara khusus banyak disinggahi pedagang-pedagang dari China. 

Bahkan, ketika itu kota ini pernah menjadi enclave (daerah kantong) China selama kurang lebih 200 tahun.

Ketika Kota Palembang berada dalam kontrol ekonomi para pedagang China, Pangeran Palembang, Parameswara, terpaksa meninggalkan kota ini pada tahun 1397. 

Pada saat itu, Kerajaan Majapahit juga tidak bisa menempatkan adipatinya di kota ini karena China telah memilih Liang Tau Ming sebagai pemimpin Palembang. 

Sayangnya, pada masa kekuasaan China, Palembang pernah menjadi sarang para bajak laut China yang menyebabkan permasalahan akut di kota ini.

Sebelum Kesultanan Palembang Darussalam sebagai kesultanan yang lebih bercorak Melayu ini berdiri, sebenarnya sudah ada Kerajaan Palembang terlebih dahulu (sebagai cikal bakal nantinya). 

Sebelum Kerajaan Palembang (Palembang Lama) berdiri, Kota Palembang sudah ada terlebih dahulu sebagai salah suatu wilayah kekuasaan Majapahit pada saat itu.

Kesultanan Palembang Darussalam berdiri selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1659 hingga tahun 1825. 

Sebelum kesultanan ini berdiri sebenarnya telah ada terlebih dahulu Kerajaan Palembang yang merupakan cikal bakal berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. 

Bedanya dengan Kerajaan Palembang, Kesultanan Palembang Darussalam lebih bercorak Islam karena menerapkan syariat Islam serta menjadikan Al-Quran dan hadits sebagai konstitusi pemerintahan.

Sejarah Kerajaan Palembang

Kerajaan Palembang berdiri sekitar abad ke-15 Masehi. Ario Damar merupakan pendiri kerajaan ini. 

Ia sebenarnya mewakili Kerajaan Majapahit di Palembang Lamo (atau nantinya disebut Kerajaan Palembang), dengan gelar Adipati Ario Damar.

Adipati Ario Damar berkuasa antara tahun 1455 hingga tahun 1486. Ketika ia datang ke Palembang, rakyat dan penduduk di daerah ini sebenarnya sudah masuk Islam.

Diperkirakan, ia akhirnya ikut memeluk Islam dengan mengubah namanya menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (dalam bahasa Jawa, dillah berarti lampu). 

Ario Dillah pernah mendapat hadiah dari Prabu Kertabumi Brawijaya V, yaitu diberikan salah seorang selirnya yang berketurunan China dan telah memeluk Islam bernama Puteri Champa. 

Ketika dibawa ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Lahirlah kemudian seseorang bernama Raden Fatah di istana Ario Dillah yang dulu dinamakan Candi Ing Laras.

Raden Fatah kemudian dididik oleh Ario Dillah dengan pengetahuan Islam yang kemudian mengantarkan dirinya sebagai ulama besar. 

Anak kandung Ario Dillah sendiri yang merupakan hasil perkawinan dengan Puteri Champa adalah Raden Kusen. Jadi, Raden Fatah adalah saudara lain bapak dengan Raden Kusen. 

Setelah Ario Dillah wafat, kekuasaan Kerajaan Palembang sempat kosong hingga tahun 1486. Hal itu terjadi karena Palembang termasuk dalam kekuasaan Majapahit. 

Banyak keturunan Ario Dillah, termasuk Raden Fatah yang kemudian hijrah ke Demak.

Eksistensi Kerajaan Palembang kembali berdiri setelah Kerajaan Demak hancur. Tidak ada sumber tertulis resmi yang dapat menyebutkan kapan Kerajaan Majapahit hancur. 

Majapahit diperkirakan runtuh pada tahun 1478 akibat serangan kerajaan-kerajaan Islam. 

Pada saat itu, Sunan Ampel menunjuk Raden Fatah sebagai penguasa seluruh tanah Jawa. Pusat kekuasaan kemudian dipindahkan ke Demak.

Pada tahun 1481, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Pendirian kerajaan tersebut juga mendapat bantuan dari daerah-daerah lainnya yang telah lepas dari Majapahit, seperti Jepara, Tuban, dan Gresik. 

Kerajaan Demak pernah menjadi pusat niaga pada abad ke-15 Masehi dan cukup berpengaruh terhadap beberapa wilayah. 

Raden Fatah mendapat gelar Senapati Jimbun Ngabdu‘r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata‘Gama. 

Ia wafat pada tahun 1518, dan digantikan puteranya, yaitu Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor.

Setelah Pangeran Sabrang Lor wafat pada tahun 1521, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh saudaranya, yaitu Pangeran Trenggono hingga tahun 1546. 

Setelah itu, di Kerajaan Demak terjadi perebutan kekuasaan antara saudara Pangeran Trenggono (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). 

Perebutan kekuasaan ini menyebabkan terjadi pertumpahan darah antar saudara. Pangeran Seda ing Lepen dibunuh oleh Pangeran Prawata.

Sebagai buntut dari peristiwa ini, Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. 

Menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Pertumpahan tidak berhenti di sini, bahkan masih berlanjut.

Pada tahun 1549, Arya Penangsang dibunuh oleh Adiwijaya yang juga seorang menantu dari Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang ketika itu menjabat Adipati Kerajaan Pajang. 

Pada masa Jaka Tingkir ini, Keraton Demak dipindahkan ke Pajang akibat serangan Kerajaan Pajang. 

Perpindahan ini sebagai pertanda berakhirnya kekuasaan Kerajaan Demak yang berdiri sejak tahun 1481 hingga tahun 1546.

Ketika Kerajaan Pajang menyerang Demak, terdapat sekitar 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau juga keturunan Raden Fatah) berhijrah ke Palembang yang dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan. 

Pada tahun 1547, Ki Gede Sedo Ing Lautan menempati posisi Kerajaan Palembang yang telah lama vakum sebagai raja ke-2. Ia berkuasa hingga tahun 1552.

Salah seorang suro (perwira) Kerajaan Demak bernama Ki Gede Ing Suro yang juga ikut dalam rombongan Ki Gede Sedo Ing Lautan kemudian menjadi raja ke-3 di Kerajaan Palembang (1552-1573). 

Meski sudah hijrah ke luar Jawa, ia dan para keturunannya masih memiliki ikatan ideologis dengan pusat keraton di Jawa hingga zaman Mataram.

Setelah Jaka Tingkir wafat, Kerajaan Pajang kemudian dipimpin oleh Arya Pangiri. Pada masa kepemimpinannya, terjadi pergolakan politik yang amat pelik. 

Kerajaan Pajang diserang oleh kekuatan massal yang terdiri dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram).

Arya Pangiri kemudian dapat dikalahkan oleh Senapati Mataram, yang menyebabkan terjadinya pemindahan Keraton Pajang ke Mataram pada tahun 1587. 

Tahun ini dikenal sebagai awal berdirinya Kerajaan Mataram. Pangeran Mataram merupakan keturunan dari Raden Fatah dan Raden Trenggono.

Adanya pertalian darah inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan yang baik antara Kerajaan Palembang dan Kerajaan Mataram pada saat itu. 

Hubungan tersebut masih terjalin erat hingga masa kekuasaan Raja Amangkurat I (raja ke-4). Di samping itu, hubungan kedua kerajaan tersebut juga dalam bentuk kerjasama.

Hingga akhir tahun 1677, Kerajaan Palembang masih setia kepada Kerajaan Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan Kerajaan Banten yang telah dilakukan sejak tahun 1596. 

Pada tahun 1610, Kerajaan Palembang pernah melakukan kontak dengan VOC, walaupun pada awalnya VOC enggan berhubungan dengan Kerajaan Palembang. 

Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan, telah dibuka Kantor Perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang, yaitu melalui perantara Gubernur Jendral di Batavia, Jacob Specx (1629-1632). 

Pada tahun 1659, Keraton Kuta Gawang beserta benteng-bentengnya hancur akibat diserbu oleh VOC. Hancurnya keraton tersebut sebagai pertanda berakhirnya eksistensi Kerajaan Palembang. 

Kehancuran tersebut berpengaruh pada pemindahan keraton dan pemukiman penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang terletak antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. 

Daerah ini kemudian dikenal dengan istilah Beringin Janggut. Keraton Kuta Gawang kini berada di kompleks PT Pusri, Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

Dari bentuknya, keraton ini menandai adanya akulturasi kebudayaan antara budaya Jawa dan Melayu, yang kemudian disebut dengan kebudayaan Palembang. 

Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka lahirlah Palembang yang memiliki kepribadian sendiri dan merasakan hak kemerdekaan sendiri pula, yaitu Kesultanan Palembang Darussalam.

Pada tahun 1659, di Palembang juga berdiri sebuah kesultanan yang memiliki corak tersendiri dan berbeda dengan Kerajaan Palembang sebelumnya, yaitu Kesultanan Palembang Darussalam. 

Pendiri kesultanan ini adalah Sultan Jamaluddin atau dikenal dengan sebutan Sultan Ratu Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, yang pada masa akhir hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang.

Silsilah Sultan Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam


Silsilah berikut ini akan dibagi berdasarkan dua bentuk periodeisasi, yaitu periode Kerajaan Palembang (sebagai cikal bakal Kesultanan Palembang) dan periode Kesultanan Palembang Darussalam itu sendiri.

1. Periode Kerajaan Palembang:

    Ario Abdillah (Ario Dila, sebelumnya bernama Ario Damar) (1455-1486)
    Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552)
    Kiai Gede Ing Suro Tuo (1552-1573)
    Kiai Gede Ing Suro Mudo (Kiai Mas Anom Adipati Ing Suro) (1573-1590)
    Kiai Mas Adipati (1590-1595)
    Pangeran Madi Ing Angsoko (1595-1629)
    Pangeran Madi Alit (1629-1630)
    Pangeran Sedo Ing Puro (1630-1639)
    Pangeran Sedo Ing Kenayan (1639-1650)
    Pangeran Sedo Ing Pesarean (1651-1652)
    Pangeran Sedo Ing Rajek (1652-1659)

2. Periode Kesultanan Palembang Darussalam:

    Sultan Ratu Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (1659-1706)
    Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714)
    Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1714-1724)
    Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724-1758)
    Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (1758-1776)
    Sultan Muhammad Bahaudin (1776-1804)
    Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1821)
    Sultan Ahmad Najamuddin II atau Husin Dhiauddin (1813-1817)
    Sultan Ahmad Najamuddin III atau Pangeran Ratu (1819-1821)
    Sultan Ahmad Najamuddin IIV atau Prabu Anom (1821-1823)
    Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006-...)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top