Catatan Panglima Polem, Pejuang Perintis Kemerdekaan Indonesia

 

Panglima Polem
Panglima Polem dalam memoarnya yang berjumlah 60 halaman menceritakan catatan pengalaman perjuangannya dalam menegakkan perjuangan rakyat Aceh melawan kolonial Belanda.


INDEPHEDIA.com - Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud.


Panglima Polem merupakan salah satu pejuang perintis kemerdekaan Republik Indonesia.

Ia seorang panglima Aceh. Namun sayangnya, sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Panglima Polem.


Meski tahun tanggal dan kelahirannya tak diketahui pasti, yang jelas ia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh.

Catatan yang diberi judul “Memoir” ditulis sendiri oleh Panglima Polem berdasarkan pengalamannya. 


“Yang saya kerjakan, yang saya lihat, yang saya dengar ataupun berdasarkan laporan-laporan di masa-masa yang lampau,” catatnya.

Catatan ini diselesaikan Panglima Polem di Kutaradja (Banda Aceh Sekarang) pada 17 Agustus 1972 dan diterbitkan dalam bentuk stensil oleh penerbit Alhambra.


Catatannya itu sebagai persembahan untuk diketahui oleh generasi muda sekarang dan yang akan datang.

Siapakah Sebenarnya Panglima Polem?

Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam, Panglima Polem merupakan jabatan Panglima Sagoe XXII Mukim (Aceh Besar bagian pengunungan) dengan gelar tambahan Sri Muda Setia Perkasa. 


Inti Kesultanan Aceh adalah Aceh Besar yang terdiri dari 3 mukim besar (daerah otonom). 


Sagoe Mukim XXVI bergelar Sri Imam Muda terletak sebelah kanan ibu kota, dan sebelah kiri Sagoe Mukim XXV bergelar Setia Ulama. 


Sagoe XXII sendiri memiliki wilayah Selatan ibu kota sampai lembah Seulawah. 


Masing-masing Panglima Sagoe tersebut membawahi para Uleebalang, Imeum Mukin dan keuchik. 


Dalam penggelaran, hanya Sagoe Mukim XXII saja yang berhak memiliki gelar Panglima Polem.

Teuku Panglima Polem bersama F.W. Stammeshaus sang kurator Museum Atjeh, 16 Februari 1928.


Sebutan Panglima Polem bukanlah nama asli dari tokoh yang bersangkutan atau penerima gelar.


Sebutan itu merupakan gelar kehormatan yang dinobatkan karena kebangsawanan sekaligus karena jabatan seseorang. 


Dalam sejarah Aceh, gelar Panglima Polem selalu diikuti oleh nama lain sebagai nama asli dari tokoh yang bersangkutan. 


Panglima Polem pertama adalah anak kandung dari Sultan Aceh terbesar, Sultan Iskandar Muda dari seorang selir dari Abbysinia. 


Sesuai wasiat Sultan Iskandar Muda, Panglima Polem tidak diizinkan naik tahta Kesultanan Aceh Darussalam. 


Namun, dalam pemerintahan Panglima Polem diminta menjadi pejabat yang melantik Sultan Aceh yang akan menjabat.

Silsilah Teuku Muhammad Ali Panglima Polem

Teuku Muhammad Ali adalah Panglima Polem X. Ayahnya adalah Teuku Panglima Polem Muhammad Daud (Panglima Polem IX). 


Panglima Polem IX juga dikenal sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, dengan ibu salah satu puteri Tuanku Hasyim Bangtamuda, Wali Sultan Aceh terakhir Tuanku Muhammad Daudsyah.

Kakeknya, Raja Kuala (Panglima Polem VIII) yang wafat tahun 1891. Buyutnya adalah Cut Banta (Panglima Polem VII hidup 1845-1879).


Apabila ditarik garis lurus maka silsilah Panglima Polem akan sampai kepada Sultan Iskandar Muda.

Peranan T.M.A Panglima Polem dalam kemerdekaan Indonesia

T.M.A Panglima Polem sosok pelaku sejarah yang terlibat ketika Aceh menyelamatkan kemerdekaan Indonesia pada awal proklamasi. 


Tidak hanya setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, tapi jauh sebelum itu, TMA Panglima Polem pernah berikrar, seperti tertulis dalam catatan memoirnya.

Pada suatu hari saya (T.M.A Panglima Polem) bersama T. Nyak Arif, Tjut Hasan, T. Ahmad Djeunieb, T. Djohan Meuraksa dan Tgk. Ali Keurukon. 


Dalam suatu permufakatan mengucapkan ikrar bersama dengan sumpah, kami berjanji jika ada kesempatan akan melawan penjajahan Belanda.

Ternyata, kesempatan itu datang pada tahun 1942. Keadaan kekuasaan Belanda saat itu semakin genting akibat Perang Dunia II, termasuk di Aceh. 


Maka tanggal 24 Pebruari 1942, T.M.A Panglima Polem memimpin sebuah gerakan melawan Belanda di Seulimum, Aceh Besar.

Sebelum penyerangan dilakukan, T.M.A Panglima Polem sempat memberikan pidato singkat. 


Pidato itu disampaikannya kepada rakyat Seulimum yang akan ikut dalam gerakan pemberontakan terhadap Belanda.

“Pemberotakan ini adalah pemberontakan perang mengusir Belanda musuh kita, dan ini adalah perang suci. 


Oleh sebab itu, dalam perang ini perlu dijaga norma-norma kesopanan menurut petunjuk agama. 


Jangan melewati batas, jangan membunuh wanita, anak-anak dan orang tua,” kata T.M.A Panglima Polem dalam pidatonya ketika itu.

Maka tepatnya tengah malam 24 Pebruari 1942 penyerangan dilakukan, Belanda kalang kabut.


Seorang Controleur Belanda bernama Tigelman yang bertugas di Seulimum terbunuh dalam pemberontakan itu.

Keesokan harinya langsung tersiar berita ke seluruh Aceh bahwa T.M.A Panglima Polem sudah melakukan pemberontakan terhadap Belanda di Seulimum, Aceh Besar. 


Maka berontaklah seluruh Mukim XXII, termasuk Padangtiji disusul oleh Mukim XXV di bawah pimpinan T. Nyak Arief (Kelak Residen pertama Aceh). 


Lalu, disusul oleh Uleebalang Lageun (Calang) T. Sabi. Seluruh rakyat menjadi turut sehingga Belanda panik.

Berita itu, sekaligus membuat Belanda marah di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). 


Saat itu, Belanda langsung mengirimkan seorang pimpinannya Mayor Palmer Van de Broek ke Seulimum untuk memburu Panglima Polem. 


Semua Uleebalang XXII Mukim dikumpulkan Mayor Palmer di Seulimum.

Di hadapan semua Uleebalang XXII Mukim itu Mayor Palmer Van de Broek berkata: 


“Kalau T.M.A Panglima Polem dapat ditangkap tidak akan ditembak, tetapi bawa ia ke Seulimum untuk disalib dan dipertontonkan kepada seluruh ahli familinya dan semua rakyat dalam XXII Mukim''.

Saat itu, Van de Broek juga mengatakan, bagi siapa yang dapat menangkap Tjut Nyak Bunsu (istri T.M.A Panglima Polem) akan diberi hadiah Fl. 25.000,-. 


“Saya di sini pengganti Tuhan, pengganti Nabi Muhammad, Controleur dan panglima sagi,” kata Mayor Palman Van de Broek dengan penuh kemarahan. 


Kemarahannya ini akibat pemberontakan yang dilakukan TMA Panglima Polem di Seulimum ketika itu.

Sebagai putra bangsa yang setia pada perjuangan kemerdekaan T.M.A Panglima Polem juga tak tinggal diam pada masa pendudukan Jepang di Aceh. 


Meskipun posisinya sebagai Kosai Kyokutyo (Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat) Pemerintahan Jepang waktu itu.


T.M.A Panglima Polem tatap saja berjuang memonitor perkembangan perjuangan kemerdekaan.

Sampai suatu hari, tepatnya 23 Agustus 1945, T.M.A Panglima Polem bersama T. Nyak Arief dan Tgk. Muhammad Daud Beureueh dipanggil Tyokang (Kepala Pemerintahan Sipil Jepang untuk Aceh). 


Tyokang memberi tahu bahwa Jepang sedang berdamai dengan sekutu, karena dijatuhkannya bom atom di Hirosima. 


Dari pemberitahuan itu, T.M.A Panglima Polem, T. Nyak Arif dan Tgk. Daud Beureueh tahu bahwa Jepang sudah kalah perang.

Berita ini membuat Panglima Polem dan T. Nyak Arif panik. Apalagi, saat itu berkembang desas-desus kurang baik.


Bahwasanya, ada kelompok yang telah membentuk Comite van Ontvangst untuk menyambut kedatangan Belanda kembali di Aceh. 


Untung segera tersiar kabar bahwa Indonesia telah diproklamirkan kemerdekaannya oleh Sukarno-Hatta di Jakarta.

Berita proklamasi tersebut semula diterima oleh seorang pegawai Indonesia pada Jawatan Perhubungan Tentara Jepang, Radjalis, 


Kabar ini kemudian diteruskan kepada saudara Haji Djamin pegawai Pos Kutaraja untuk disampaikan kepada T. Nyak Arief.

Sumpah Setia T.M.A Panglima Polem dan Para Pembesar Aceh 


Saat itu, T. Nyak Arief besama TMA Panglima Polem langsung mengambil inisiatif. 


Mereka memanggil orang-orang penting di Aceh untuk bersumpah setia kepada Negara Republik Indonesia.

T.M.A Panglima Polem dalam buku memoirnya menceritakan, sumpah setia terhadap negera Republik Indonesia ini mula-mula diucapkan T. Nyak Arief, setelah itu saya T.M.A Panglima Polem. 


Kemudian diteruskan oleh semua yang hadir, termasuk Tgk. Muhammad Daud Beureueh. 


Sedangkan, yang menjadi juru sumpah saat itu adalah Tgk. Syeh Saman Siron.

Setelah itu, berdasarkan hasil mufakat T. Nyak Arief diangkat menjadi Residen dan T.M.A Panglima Polem sebagai asisten Residen untuk menaikkan Bendera Merah Putih di depan kantornya. 


Setelah itu penaikan bendera Merah Putih ini dilanjutkan ke kantor pusat pemerintahan Tyokang yang bermarkas di komplek (baperis sekarang).

Namun, penaikan bendera Merah Putih di depan kantor Tyokang, setelah dinaikkan, bendera Indonesia ini diturunkan kembali oleh Jepang. 


T. Nyak Arief bersama T.M.A Panglima Polem sangat marah atas insiden tersebut.

T. Nyak Arief dengan memegang pistol bersama rombongannya kembali ke kantor pusat pemerintahan untuk menaikkan bendera Indonesia kembali halaman kantor itu. 


T. Nyak Arief mengancam dengan memerintahkan kepada Polisi Istimewa, siapa yang berani menurunkan lagi bendera Merah Putih ini tembak mati mereka, perintah T. Nyak Arief.

Maka berkibarlah Sang Merah Putih untuk pertama kalinya di Aceh dari siang hingga malam hari sebagai lambang cinta dan kesetiaan Aceh terhadap Republik Indonesia.

Peranan T.M.A Panglima Polem dan rakyat Aceh di Masa Genting

Kesetiaan Aceh yang diberikan untuk Indonesia ternyata tidak hanya sebatas ikrar tokoh-tokoh perjuangan yang bersumpah akan menyelamatkan Indonesia dari musuh-musuh penjajahan. 


Setelah Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah nagara yang merdeka, Indonesia tidak segan-segan menyampaikan kesulitannya kepada Aceh. 


Seperti seorang anak yang tidak segan-segan meminta bantuan kepada orang tuanya.

Presiden Sukarno berkunjung ke Aceh bulan Juni 1948. Sukarno atas nama rakyat Indonesia berpidato dalam jamuan malam di Hotel Aceh dengan sejumlah pengusaha Aceh.


Waktu itu, dihadapan GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh), Presiden Sukarno tidak segan-segan meminta rakyat Aceh untuk dapat membelikan sebuah pesawat udara untuk kepentingan pemerintahan Indonesia yang baru merdeka.

“Saya belum mau makan malam sebelum ada jawaban pasti ‘ya’ atau ‘tidak’ dari saudara-saudara,” kata Presiden Sukarno diakhir pidatonya malam itu. 


Maksudnya, Sukarno ingin sebuah jawaban yang jelas dari rakyat Aceh untuk menyanggupi memberikan sebuah pesawat udara untuk kepentingan perjuangan Indonesia yang baru merdeka.

Dalam hal ini, lagi-lagi T.M.A Panglima Polem diuji kesetiannya kepada Republik Indonesia. 


Tanpa basa-basi atas nama GASIDA T.M.A Panglima Polem mengabulkan permintaan Presiden Sukarno untuk menyumbangkan sebuah pesawat terbang kepada pemerintah Republik Indonesia.

Harga sebuah kapal terbang jenis Dakota (bekas pakai) waktu itu sekitar 120.000 Dolar Malaysia. Kalau dengan harga emas sebanyak 25 kg emas. 


Lalu, dibentuklah panitia pembelian pesawat terbang itu oleh GASIDA, T.M.A Panglima Polem dipercayakan untuk mengetuai panitia pembelian pesawat tersebut.

Beberapa hari setelah itu, T.M.A Panglima Polem menemui Residen Aceh untuk membicarakan teknis penyerahan pesawat itu secara simbolis kepada pemerintah Republik Indonesia. 


Karena setianya rakyat Aceh kepada republik, pesawat yang diminta Sukarno tidak hanya satu yang disumbangkan, tapi dua pesawat sekaligus. 


Satu pesawat sumbangan dari GASIDA, yang satu lagi sumbangan dari seluruh rakyat Aceh.

Dua pesawat hasil sumbangan Aceh kepada Republik Indonesia ini kemudian diberi nama “Seulawah 01″ dan “Seulawah 02″. 


Dua pesawat inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya perusahaan penerbangan Garuda Indonesia.

Akhir Hidup dari T.M.A Panglima Polem

Bak kata pepatah, untung tak dapat diraih, nasib tak dapat ditolak. Hari tua T.M.A Panglima Polem sangat memilukan. 


la jatuh dalam kemiskinan setelah hampir seluruh hartanya dihabiskan untuk kepentingan perjuangan dalam mewujudkan impiannya menuju Indonesia merdeka.

Di tengah duka nestapa itulah T.M.A Panglima Polem menghembuskan nafas terakhir, kembali kehadhirat Ilahi Rabbi, 6 Januari 1974. 


Sungguh sebuah kesetiaan pengabdian yang diberikan kepada negara, tapi kesetiaan T.M.A Panglima Polem terhadap negara yang ia perjuangkan kemerdekaannya, dinafikan oleh negaranya sendiri.

Penutup Memoir oleh T.M.A Panglima Polem

“Saya senantiasa bersyukur di samping telah ikut berjuang dengan teman-teman sejak puluhan tahun dalam berbagai bidang masih diberi kesempatan oleh Allah S.W.T dalam alam merdeka ini untuk mengisi kemerdekaan yang tercapai itu.

Mudah-mudahan dengan adanya kesibukan masing-masing kita dapat melupakan pengalaman-pengalaman yang pahit.


Menghilangkan sentimen-sentimen pribadi dan golongan, permusuhan-permusuhan, fitnah dan sebaliknya mari kita pupuk rasa persaudaraan, persatuan yang menjadi syarat mutlak bagi pembangunan dan kesejahteraan.” 


T.M.A Panglima Polem, Kutaradja, 17 Agustus 1972. (TK.IN/SD/*)


Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top