Politik Etis dan Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia (2)

 

Tiga Serangkai: Soewardi Soerjadiningrat, Tjipto Mangoenkoesomo dan Douwes Dekker, saat masa pembuangan di Belanda. (Foto Dok. Museum Kebangkitan Nasional)

INDEPHEDIA.com - Proses penulisan roman ini ditulis Multatuli hanya dalam tempo sebulan saja. Dengan kreativitasnya, ia tuangkan pengalamannya selama di Indonesia ke dalam bentuk naskah tulisan yang memikat dan menyejarah.

Tidak sampai menunggu lebih lama, berselang setahun kemudian tepatnya tahun 1860, roman yang ternyata menarik perhatian itu terbit untuk pertama kalinya.

Buku tersebut diluncurkan Penerbit De Ruyter, Amsterdam, dengan judul “Max Havelaar, of de Koffie-veilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappij” atau artinya Pelelangan Kopi Perusahaan Dagang Belanda.

Herman Hesse dalam buku karyanya berjudul “Die Welt Bibliothek” (Perpustakaan Dunia), memasukkan buku Max Havelaar deret buku bacaan yang sangat dikaguminya. Bahkan, Max Havelaar menjadi bacaan yang masuk daftar wajib di sekolah-sekolah di Belanda.

Buku tersebut, sedikitnya telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa bahkan difilmkan, baik dalam bahasa Belanda maupun berbahasa Indonesia.

Meskipun intinya buku ini menceritakan ketimpangan-ketimpangan pemerintahan Hindia Belanda di abad ke-19 Masehi, akan tetapi pesan yang disampaikan Multatuli masih tetap berlaku hingga sekarang.

Dengan gaya tulisannya yang satiris, Multatuli yang artinya saya banyak menderita, didalam bukunya menceritakan budaya berdagang Belanda yang hanya mencari keuntungan di satu sisi, tapi dilain pihak sangat menggurui serta seakan-akan bersih.

Di bukunya, Multatuli menggugat pejabat kolonial yang korup. Sebaliknya, dia juga memuji orang yang berusaha mendobrak ketimpangan, menentang pemerasan, penindasan serta membela pemerintahan yang baik.

Di berbagai diskusi mengenai kerjasama pembangunan, selalu ditekankan tema good governance. Tidak hanya itu, di semua diskusi tentang perdagangan dunia selalu disinggung mengenai fair trade.

Dengan lahirnya Undang-Undang Agraria tahun 1870, mulai sejak itu para pengusaha swasta Belanda menanamkan modalnya di Indonesia. Semenjak itu pula politik liberal berlangsung.

Di bawah kebijakan politik liberal kolonial, situasi dan kondisi kala itu menunjukkan pernyataan yang selalu didengungkan dengan kata bijak, bahwasanya pengusaha-pengusaha swasta Belanda akan mampu meningkatkan kemakmuran bagi rakyat ternyata tidak benar.

Akibat yang dialami rakyat kenyataannya tetap dalam keadaan tidak baik. Tak lebih buruk dibandingkan dengan zaman pelaksanaan sistem tanam paksa.

Hal itu dimungkinkan karena penetrasi perekonomian yang dilakukan para pengusaha swasta Belanda tidak hanya tertuju kepada lapisan masyarakat atas, melainkan justru dapat lebih menjangkau lapisan jauh ke bawah atau yang lebih rendah.

Kenyataan ini, menyebabkan semakin besarnya import dari luar negeri, di samping makin matinya sisi kehidupan ekonomi tradisional masyarakat.

Dampak negatif lainnya dari liberalisme, perekonomian penduduk setempat yang semula kebanyakan menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, lambat laun bergeser dan terdesak ke arah ekonomi uang.

Warga yang tadinya hidup dari hasil bertani, sebagian diantaranya beralih meninggalkan pekerjaan yang telah lama menjadi mata pencarian mereka.

Saat liberalisme akan dan tengah berlangsung, keadaan memang menjadi berubah. Banyak petani jadi kehilangan tanah akibat perluasan perkebunan maupun perindustrian.

Akibatnya, penduduk pribumi sudah tidak mempunyai lahan tanah garapan lagi. Sehingga mata pencarian mereka beralih dari pekerjaan tani, ke sebagai buruh dalam perkebunan maupun di pabrik-pabrik industri pengolahan, seperti kebun maupun pabrik pengolahan karet, tebu dan sebagainya.

Dengan demikian jelas, baik tanam paksa maupun politik liberal, tetap hanya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Perbedaannya, kalau dalam tanam paksa subjek pelaku berupa investasi pemerintah Hindia Belanda, sedangkan dalam politik liberalisme kolonial subjek pelakunya pihak perusahaan-perusahaan swasta.

Tapi, keduanya dalam prakteknya sama-sama tetap melaksanakan prinsif menyumbangkan saldo ke negeri Belanda. Suatu kebijakan yang biasa disebut dengan istilah drainage politiek atau batig slot politiek.

Karenanya, tidak mengherankan jika di akhir abad ke XIX, keadaan perekonomian rakyat, terutama di wilayah Pulau Jawa semakin merosot. Kemerosotan tersebut lebih lanjut ternyata mengakibatkan terjadinya demoralisasi serta kerugian terhadap berbagai sisi kehidupan dan sendi-sendi organisasi masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi penduduk lebih banyak dikendalikan kolonial. Begitu pula halnya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Keadaan sedemikian, menyebabkan semakin kerasnya kritik yang ditujukan kepada kebijakan pemerintahan Belanda untuk negeri jajahannya.

Kritik tersebut awal mulanya bersumber dari adanya ketidakadilan terhadap rakyat di negara-negara jajahan, termasuk bangsa Indonesia. Penduduk pribumi diperlakukan sebagaimana layaknya bangsa yang dijajah.

Tidak hanya dijajah sejumlah sektor menyangkut kehidupan rakyat tetapi juga ada yang dijajah secara fisik. Kenyataan tersebut menimbulkan kritikan dari beberapa kalangan, termasuk orang-orang dari bangsa Belanda sendiri.

Kritikan yang mereka lontarkan sebenarnya lebih diarahkan kepada suatu pembaharuan yang lebih relevan demi meningkatkan taraf hidup serta kehidupan bagi rakyat Indonesia. (*)

Bersambung Bagian 3

*) Dikutip dari Buku "Land Use Planning, Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia", Penulis: Akhmad Sadad (Pemimpin Redaksi Indephedia.com / Pendiri Iphedia Network).


Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top