Politik Etis dan Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia (3)

 



INDEPHEDIA.com - Sebagai bangsa yang dijajah, sendi-sendi masyarakat juga turut terjajah, terutama sekali yang lebih menonjol di bidang pemerintahan, hukum, ekonomi dan sosial-budaya.

Secara langsung maupun tidak langsung, yang terjadi selama masa itu berdampak pula bagi tatanan yang ada. Wajar saja bilamana penderitaan dan kesengsaraan rakyat mengundang kritikan dari berbagai pihak.

Selanjutnya, kritik yang menjadi pola dan program dari kolonial itu, akhirnya dikenal dengan apa yang disebut politik etis.

Adanya politik etis, pada dasarnya dilandasi suatu pemikiran positif kalau negeri Belanda dirasa memiliki keharusan untuk membalas budi baik rakyat Indonesia melalui program yang dikenal dengan Trilogi Van de Venter.

Program ini merupakan hasil riset dan kajian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam menyikapi berbagai persoalan terhadap daerah jajahannya. Dengan program itu, diharapkan dapat mampu meningkatkan kehidupan masyarakat.

Menurut pendapat mereka, pemerintah kolonial Hindia Belanda harus menempuh tiga kebijakan guna memajukan rakyat setempat. Hal itu juga disesuaikan dengan kondisi penduduk maupun geografis suatu daerah.

Namun, dalam pelaksanaannya, ketiga bidang itu ternyata tidak sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita dari kaum liberal untuk mengangkat kemakmuran dan taraf hidup masyarakat.

Praktek Trilogi, kenyataannya menunjukkan justru dimaksudkan guna melakukan eksploitasi terhadap kekayaan bangsa ini lebih intensif lagi.

Edukasi yang bertujuan membuka jenjang pendidikan formal, berupa sekolah-sekolah untuk dapat mencerdaskan rakyat, hakikatnya hanya usaha dari pemerintah Hindia Belanda menciptakan tenaga kerja yang murah dan bermuara mengambil keuntungan.

Sejak tahun 1900 sampai tahun-tahun berikutnya, mulai didirikan sarana prasarana pendidikan, seperti gedung serta pembelajaran di sekolah-sekolah, baik diperuntukkan bagi kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Tapi kenyataannya, sekolah yang dibuka Belanda bukanlah untuk semua lapisan masyarakat, tetapi cakupannya sangat terbatas. Mereka yang bersekolah di sana sebagian besar golongan menengah ke atas.

Demikian pula halnya dengan mata pelajaran yang disajikan, tidak menyentuh dengan kebutuhan. Pelajaran diberikan di sekolah-sekolah yang dibuka Belanda, hanya meliputi pembelajaran yang sifatnya dapat membantu kaum penjajah Hindia Belanda.

Pelajaran yang diberikan di sekolah-sekolah tersebut kenyataannya diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan industri dan perkebunan secara lebih mendalam, yang selanjutnya demi semakin besarnya keuntungan pihak penjajah.

Lulusan dari sekolah itu, ternyata tidak lebih berdaya guna. Sebagian besar dari mereka nyatanya tenaga kerja yang diperlukan dalam industri dan perkebunan sebagai pekerja rendahan, yang sebutannya sama saja dengan buruh.

Jabatannya pun dipandang tidak pantas diduduki personal berkulit putih, seperti mandor, juru tulis, yang kesemuanya bisa di gaji dengan jumlah yang kecil dan murah.

Walaupun demikian, dengan dibukanya sekolah-sekolah tersebut setidaknya menjadi babak baru sistem pembelajaran formal di Tanah Air.

Pengaruhnya di dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan serta pengajaran di Hindia Belanda.

Salah seorang dari kelompok etis yang dianggap sangat berjasa dalam bidang ini, Mr. J. H. Abendanon (1852-1925). Dia pejabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905).

Diperoleh catatan dari Kementerian Jajahan Hindia Belanda tanggal 16 Desember 1901, khusus di Pulau Jawa jumlah siswa sekolah-sekolah guru tiap tahun mengalami peningkatan.

Seperti di Bandung, dari 50 bertambah menjadi 100 orang, di Yogyakarta dari 75 menjadi 100 orang, di Probolinggo dari 75 menjadi 100 orang, di Semarang dibuka sekolah guru baru dengan siswa sebanyak 100 orang.

Meski demikian, penduduk belum mendapatkan pendidikan formal secara adil dan merata. Karena pada kenyataannya yang memperoleh kesempatan mengenyam bangku sekolah kebanyakan golongan priyayi, dengan maksud untuk diangkat menjadi pegawai Belanda.

Alhasil, politik balas budi sebagaimana sebelumnya dirancang van Deventer, ternyata hanya untuk kepentingan Belanda semata-mata. Setidaknya, itulah pandangan dari rakyat jajahan. (*)

Bersambung Bagian 4

*) Dikutip dari Buku "Land Use Planning, Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia", Penulis: Akhmad Sadad (Pemimpin Redaksi Indephedia.com / Pendiri Iphedia Network).


Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top