Rumah Daswati, Peninggalan Sejarah Terbentuknya Provinsi Lampung

 
Sumber Foto: Lampost

INDEPHEDIA.com - Rumah Daswati (Daerah Swatantra Tingkat) merupakan salah satu bangunan peninggalan sejarah terbentuknya Provinsi Lampung.

Di rumah yang beralamat di Jalan Tulangbawang Nomor 175 A (sekarang Nomor 11) Enggal, Kota Bandarlampung inilah dirumuskan pembentukan Provinsi Lampung yang kemudian "memisahkan diri" dari Provinsi Sumatera Selatan.

Wacana Lampung Jadi Provinsi 

Diketahui, Provinsi Sumatera Selatan yang didirikan tanggal 12 September 1950 awalnya mencakup daerah di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel).

Adapun wilayah Sumbagsel itu, yakni Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Kepulauan Bangka Belitung. 

Sebelum adanya pemekaran, Lampung, termasuk wilayah Sumbagsel lainnya, masih berbentuk keresidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan yang berpusat di Palembang.

Karena merasa kesulitan dalam mengurus banyak hal, terutama administrasi dan pemerintahan, pemimpin daerah karesidenan, sejumlah tokoh masyarakat dan pengurus partai politik di Lampung berwacana mengubah Lampung menjadi provinsi atau daerah tingkat I (Dati I).

Berbagai upaya dilakukan para tokoh di Lampung dalam "memisahkan diri" dari Provinsi Sumatera Selatan, salah satunya membuat petisi untuk Pemprov Sumsel.

Sayangnya, petisi yang dibuat pada tahun 1962 itu tidak mendapat respon dari Pemprov Sumatera Selatan.

Pembentukan Panitia Perjuangan Daswati I Lampung

Tak berhenti sampai di situ, sesuai dengan apa yang direncanakan, sejumlah tokoh Lampung mengadakan pertemuan pada tanggal 28 Februari 1963.

Pertemuan yang diadakan di rumah Radja Sjah Alam itu menghasilkan pembentukan panitia perjuangan Daswati I Lampung yang berjumlah 12 tokoh.


Adapun nama-nama panitia perjuangan Daswati I Lampung, antara lain Komarudin (penasehat) dan Radja Sjah Alam (PNI) sebagai ketua.

Kemudian, Nasjir Rachman (Murba) sebagai sekretaris, Mustafa Sengaji (PBII) sebagai bendahara dan H. Achmad Ibrahim (Kapt TNI AD) selaku penggagas.

Selanjutnya, Basir Amin (Murba), Ubah Pandjaitan (Parkindo), Sabda Panjinagara (Parkindo), M. Husni Gani (NU), M.A Pane (PKI) dan FX. G. Adi Warsito (Partai Katolik). 

Sementara, Achmad Zaini bertindak sebagai penghubung pemerintah Dati I(Daerah Tingkat I) Sumatera Selatan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta.

Pada tanggal 7 Maret 1963 bertempat di gedung perjuangan 45, panitia perjuangan Daswati I Lampung yang sudah terbentuk itu mulai mengadakan rapat pertamanya. 

Rapat-rapat selanjutnya dilakukan panitia di rumah salah seorang tokoh masyarakat Lampung, Ibrahim.

Rumah Ibrahim ini --yang sekarang dikenal dengan Rumah Daswati--- kemudian dijadikan kantor panitia perjuangan Daswati I Lampung.

Mendapat Persetujuan Presiden Soekarno

Untuk menyampaikan keinginan Lampung memisahkan diri dari Provinsi Sumsel, panitia perjuangan Daswati I Lampung pada 18 Mei 1963 ke Istana Bogor menemui Presiden RI, Ir. Soekarno.

Setelah melalui pertimbangan, dengan syarat masyarakat Lampung memberikan bantuan dalam pembangunan jalan raya di Sumatera, Presiden Soekarno menyetujui Lampung menjadi provinsi. 

Upacara serah terima pemerintahan dari Provinsi Sumatera Selatan kepada Provinsi Lampung sekaligus pelantikan Gubernur Lampung I, Kusno Dhanupoyo, dilaksanakan pada 18 Maret 1964.

Serah terima pemerintahan dan pelantikan Gubernur Lampung pertama ini disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Eny Karim.

Kusno Danupoyo, gubernur Lampung pertama (periode 1964–1966) tersebut adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia di Gorontalo, Sulawesi.

Pada tahun 1966, ia mengundurkan diri sebagai Gubernur Lampung, dan setelah itu menjadi Anggota DPR RI periode 1968–1976.

Dalam karirnya, Kusno juga pernah menjadi Anggota DPRD periode 1976–1980 dan Ketua DPRD Provinsi Lampung masa jabatan 1968–1970. (*)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top