Aksara Jawa dalam Lintasan Sejarah dan Perkembangannya

 
Sejumlah mahasiswa asing membuat tulisan aksara Jawa saat mengikuti “Ubaya Summer Program 2019” di Universitas Surabaya (Ubaya), Jawa Timur, Kamis (29/8/2019). (Foto: ANTARA/Moch Asim/hp)

INDEPHEDIA.com - Aksara Jawa atau Hanacaraka (Carakan) dan disebut juga Dentawyanjana salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Pulau Jawa. 

Aksara Jawa merupakan sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 20 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasanya.

Setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. 

Dalam penulisannya, aksara Jawa ditulis dari kiri ke kanan tanpa spasi antarkata, akan tetapi umum diselingi dengan sekelompok tanda baca yang bersifat dekoratif.

Aksara ini turunan dari aksara Brahmi di India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Bali. 

Akar paling tua dari aksara Jawa, yakni aksara Brahmi, berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8 Masehi.

Sejarah keberadaan aksara Jawa di Indonesia masa lampau dapat dilihat dari banyaknya temuan prasasti-prasasti hingga naskah-naskah kuno di Nusantara yang beraksara Jawa.

Aksara Jawa dalam sejarahnya ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu dan kebutuhannya. 

Aksara Kawi yang menjadi nenek moyang aksara Jawa, melansir Wikipedia, umum ditemukan dalam bentuk prasasti batu dan lempeng logam. 

Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media lontar, yakni daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. 

Saat Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15 Masehi, bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.

Dalam naskah beraksara Jawa terdapat dua jenis kertas yang umum ditemukan, yakni kertas produksi lokal yang disebut daluang (bahasa Jawa: dluwang) dan kertas impor. 

Daluang, yaitu kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon saéh (Broussonetia papyrifera) yang disebut juga pohon glugu.

Antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20 Masehi, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. 

Untuk melestarikan dan dalam perkembangannya, aksara Jawa menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian kecil Jawa Barat. 

Saat ini, aksara Jawa juga dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu di Pulau Jawa. (*)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top