INDEPHEDIA.com - Saat menguasai Indonesia, pemerintah kolonial Hindia Belanda telah memfokuskan kebijakan politiknya dalam bidang pertanian. Dengan harapan dapat mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Kebijakan ini sebenarnya berawal dari kegagalan sistem liberal selama dekade sebelumnya. Sistem liberalisme mulai ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870, yang menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah seluas dan selama mungkin.
Sistem tersebut dalam pelaksanaannya membawa kemunduran bagi kesejahteraan pribumi. Masyarakat setempat banyak yang kehilangan tanah garapan dan lahan berubah menjadi pekerja perkebunan maupun pertanian milik kaum pemodal bangsa Belanda.
Perubahan sistem mata pencarian, tentu saja membawa dampak terhadap tingkat kemakmuran warga dan pola bekerja. Penduduk yang tadinya bertani dan berkebun, dengan tidak ada lagi tanah olahan, beralih bekerja sebagai buruh perkebunan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, baik di pusat maupun daerah, menemukan kekayaan alam di suatu wilayah jajahannya ibarat mendapatkan buah durian runtuh. Sebab, keberadaan sumber daya alam diharapkan dapat mendongkrak pendapatan negara melalui penerimaan royalti dan pajak-pajak.
Menghadapi tuntutan dari rakyat, pemerintah maupun korporasi tak pernah kehilangan akal, termasuk lahirnya tren baru desain model politik etis, berupa corporate social responsibility (CSR).
Kemunculan gagasan etis di sektor pertanian, ditindaklanjuti dengan didirikannya Afdeeling Landbouw, Nijverheid dan Handel tahun 1905 di Pulau Jawa.
Dalam tahun ini juga, Hindia Belanda memberangkatkan kolonisasi pertama di tanah air yang penempatannya ke Gedong Tataan, Lampung. Semenjak itu pula, pelaksanaan Trilogi van Deventer mulai berlangsung.
Sebenarnya, pemikiran untuk memindahkan penduduk Jawa pertama kali diungkapkan Thomas Stamford Raffles tahun 1814. Raffles, yang tengah menjadi penguasa di Indonesia ketika Inggris menjajah, mencatat jumlah penduduk Jawa pada tahun tersebut sebanyak 4,6 juta jiwa.
Jumlah itu diperkirakan akan berlipat ganda dalam tiga sampai empat dasawarsa. Kecemasan penambahan penduduk Jawa berlipat ganda di masa mendatang juga disampaikan Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies saat menjadi penguasa Hindia Belanda tahun 1827.
Pernyataan Raffles dan Gisignies bukan tanpa adanya perhitungan. Keduanya memperkirakan, sistem liberal yang diterapkan semasa itu telah memberikan kesempatan masyarakat pribumi sedikit peningkatan kesejahteraan.
Penduduk Jawa pun telah mendapatkan pangan yang lebih baik dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Dugaan tersebut terbukti, pertengahan abad ke 19 Masehi, penduduk di Pulau Jawa telah berjumlah sekitar 8,9 juta jiwa.
Meskipun jumlah penduduk Jawa meningkat, perkiraan Raffles dan Gisignies ternyata tidak sepenuhnya mendekati benar. Sistem liberal yang memberikan kesempatan lebih luas kepada swasta, diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan terhadap penduduk pribumi, nyatanya tidak terealisasi.
Hal tersebut diperparah ketika penerus Gisignies, Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksanya. Sistem tanam paksa telah menghisap habis tenaga kerja tanpa memberikan kesejahteraan kepada penduduk Jawa.
Jumlah penduduk Pulau Jawa ternyata tetap semakin meningkat. Secara logika, ini tidak bisa dipikir. Kesejahteraan menurun, tetapi penduduk malah bertambah.
Terjadinya peningkatan penduduk ternyata untuk menutupi beban kerja yang banyak maupun besaran pajak yang tinggi. Kepala keluarga merasa tidak sanggup harus menghadapi seluruh beban tersebut seorang diri.
Sekitar tahun 1880-an, banyak industri tekstil di Belanda mengalami kebangkrutan. Hal itu terjadi karena produk tekstil yang mereka hasilkan tidak laku dijual ketika dipasarkan di Indonesia, terutama di Jawa.
Penyebabnya, penduduk Jawa tidak mampu membeli tekstil tersebut akibat penghasilan mereka yang minim. Upah buruh yang dibayarkan pengusaha perkebunan swasta yang bermunculan di Indonesia tergolong murah.
Menurunnya kesejahteraan hidup penduduk Pulau Jawa pada masa penjajahan disebabkan tiga faktor, yaitu pertumbuhan penduduk yang pesat tidak terimbangi kenaikan produksi pangan.
Sistem tanam paksa dan kerja wajib yang hasilnya tidak dinikmati penduduk, serta tanggung jawab Jawa yang telah menjadi penopang finansial kepentingan politik pemerintah Hindia Belanda di luar Jawa maupun untuk peningkatan kemakmuran negeri induk selama abad ke-19 Masehi.
Akibat kondisi yang terjadi pada penduduk Jawa, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan kritik tajam dari bangsa mereka sendiri. Kritik itu disampaikan beberapa tokoh humanis. Selain Conrad Theodore van Deventer, ada pula van Koll dan Pieter Brooshoff yang mengelola surat kabar de Lokomotief di Semarang.
Van Deventer dan van Koll melakukan kritik di parlemen Belanda. Sementara, Brooshoff selalu mengulas melalui tulisan kritik-kritik yang disampaikan keduanya di parlemen Belanda.
Kritik yang disampaikan merupakan desakan kepada pemerintah untuk menjalankan politik balas budi terhadap penduduk pribumi. Hal itu karena pribumi telah berperan besar memberikan keuntungan terhadap Belanda dari tanah jajahan di Hindia Belanda.
Kebijakan baru ini merupakan titik awal pembangunan masyarakat pedesaan, yang secara umum banyak menggantungkan hidupnya sebagai petani. Walaupun sebelumnya kolonisasi ini dipekerjakan di perkebunan milik perusahaan Hindia Belanda, akan tetapi akhirnya mereka juga menggantungkan hidup dari lahan dan hasil pertanian.
Dibentuknya Departemen Pertanian, tidak bisa lepas dari program Gubenur Jenderal Rooseboom, yang terus mengkuatirkan adanya penurunan terhadap produk di bidang pertanian beserta implikasinya bagi kesejahteraan penduduk.
Departemen Pertanian di Indonesia dipusatkan di kebun botani di Buitezorg (Bogor). Departeman tersebut, dikepalai seorang direktur bernama M. Treub.
Dia diberikan kesempatan untuk merealisasikan rencana-rencana jangka panjangnya dalam upaya meningkatkan hasil pertanian, terutama tanaman padi persawahan, peningkatan tanaman skunder serta penanaman untuk lahan kering.
Treub juga menanamkan akan perlunya dorongan dan perkenalan industri-industri kecil pertanian. Untuk itu, dilakukan penelitian terhadap kondisi klimatologi dan tanah di Jawa serta pemeliharaan ternak.
Usaha Treub, diimbangi pula dengan melakukan berbagai percobaan pertanian di sejumlah lahan tanah di Pulau Jawa sebagai eksperimen, seperti di Afdeling Kulon Progo, terletak di bagian barat Kesultanan Yogyakarta.
Dalam laporan dari Ir. A. Wulff antara tahun 1920-1926 misalnya, memperlihatkan jika di daerah Pengasih dan Sogan, Distrik Kulon Progo, telah dilakukan riset dan penanaman padi dengan menggunakan pupuk kimiawi di lahan sawah basah.
Kemudian tahun 1929, J. J. Ochse juga melakukan penelitian terhadap iklim serta percobaan penanaman tanaman panen berupa buah-buahan, seperti mangga dan nanas di Kulon Progo. Hasil dari percobaan ternyata kurang memuaskan dan tidak maksimal.
Walaupun demikian, politik etis sedikit banyaknya telah mewarnai dinamika sektor pertanian di Indonesia. Pandangan umum yang sudah mengakar, kesejahteraan pribumi sangat berkaitan dengan produksi tanaman pangan. Hal ini menjadi alasan pemerintah Hindia Belanda melihat pertanian sebagai sektor yang penting diperdayakan dalam kebijakan politik etis.
Waktu itu, sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa khususnya, telah mempunyai pengetahuan yang memadai dalam bidang pertanian. Bahkan, sebelum kolonialisme datang ke Nusantara.
Meski masih secara tradisional dan turun temurun, para petani di sini sudah mengenal teknis-teknis tentang pengolahan lahan, penanaman hingga proses produksi. Berdasarkan kenyataan tersebut, penerapan kebijakan politik etis tidak banyak mengubah cara-cara pertanian yang ada.
Hindia Belanda, melalui tenaga-tenaga ahlinya di bidang pertanian, terus berupaya melakukan berbagai penelitian serta pengembangan pertanian. Meskipun demikian harus diakui, pengenalan terhadap cara-cara bercocok tanam dan pertanian modern telah dilakukan. Walau pelaksanaannya tidak massif. (*)
Bab 1 Selesai
*) Dikutip dari Buku "Land Use Planning, Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia", Penulis: Akhmad Sadad (Pemimpin Redaksi Indephedia.com / Pendiri Iphedia Network), Penerbit 3M Media Karya, Banten, 2014.
Politik Etis dan Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia (6)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
TERPOPULER
- Sejarah dan Kebudayaan Suku Ambon
- Wilayah Benua dan Pembagiannya
- Arca Bodhisattva Maitreya Peninggalan Zaman Sriwijaya
- Legenda Segentar Alam, Raja Sriwijaya Muslim dari Bukit Siguntang
- Suku Wana, Suku Tertua di Pedalaman Morowali Sulawesi Tengah
- Patung Kuno yang Unik dan Fenomenal di Peru
- Ini Dia 3 Jenis Tarian Suku Sunda yang Terkenal
- Sejarah dan Kebudayaan Suku Anak Dalam (Suku Kubu)
- Pengertian dan Jenis-jenis Montage dalam Pembuatan Film
- Six Countries That Have Colonized Indonesia
No comments:
Write commentSiapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.