Sejarah Kerajaan Negeri Daya di Aceh

 
Sumber Foto: Travelplus Indonesia

INDEPHEDIA.com - Kerajaan Daya atau Kerajaan Negeri Daya merupakan kerajaan yang terletak di Lhan Na (sekarang Lamno), Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh.

Kerajaan Negeri Daya didirikan tahun 1480 Masehi dengan raja pertama Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah (Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah) atau lebih dikenal dengan julukan Poteu Meureuhom Daya atau Cik Po Kandang. 

Kerajaan ini bagian dari Kerajaan Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan oleh Sulthanah Siti Hur Khairil Barri Wal Bahriyah yang berkuasa pada tahun 1520–1553.

Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad XVII telah berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Ulee Balang, yaitu Kluang, Lamno, Kuala Lambeusoe, Kuala Daya dan Kuala Unga.

Kemudian, Babah Awe, Krueng No, Crak Mong, Lhok Kruet, Babah Nipah, Lageun, Lhok Geulumpang, Rameue, Lhok Rigaih, Krueng Sabee, Teunom dan Panga.

Setelah berakhirnya Perang Aceh (1914), negeri-negeri para Ulee Balang ini memperoleh status swapraja (zelfbestuur landschappen).

Penduduk Asli Negeri Daya

Penduduk asli yang bermukim di kerajaan ini, melansir dari sejumlah sumber, awalnya diduga berasal dari bangsa Lanun. Orang Aceh menyebut Lanun dengan “Lhan” atau bangsa Samang. 

Bangsa itu datang dari Semenanjung Malaka atau Hindia Belakang, Burma dan Champa. Mereka diduga memiliki hubungan dengan bangsa Mongolia yang datang dari kaki bukit Himalaya.

Pendatang dari bangsa Lanun yang belum beragama tersebut bermukim di hulu Sungai Daya, di sebuah dusun bernama Lhan Na yang kini disebut Lam No.

Seiring perkembangan, penduduk penghuni di hulu sungai Daya itu bercampur dengan orang-orang baru yang datang, karena percampuran peradaban mereka bertambah maju. 

Setelah orang-orang dari Aceh Besar dan Pasai yang beragama Islam datang ke Daya, mulailah orang-orang di pesisir negeri Daya menganut agama Islam sampai akhirnya semua orang Lhan beragama Islam.

Asal Mula Nama Negeri Daya

Dikisahkan, ketika terjadi perang antara Raja Pidie melawan Raja Pasai pada pertengahan abad ke-15 Masehi, saat itu terjadi pemberontakan oleh Raja Nagor bekas pahlawan Pasai yang dihukum. 

Dalam pertempuran tersebut Raja Pasai kalah, Sultan Haidar Bahiyan Syah tewas, singgasana Pasai dirampas oleh Raja Nagor Pidie pada tahun 1417. 

Sejak itu, Raja Nagor memerintah negeri Pasai. Namun, terdapat banyak pertentangan dengan keturunan keluarga Sultan Pasai sehingga banyak yang dibunuh. 

Beberapa keturunan keluarga Pasai menghindarkan diri pergi mencari dan membuka negeri baru, salah seorang sampai ke Daya. 

Negeri ini dinamakan berdasarkan kejadian ini, yakni Daya itu bermakna tidak berdaya lagi, telah habis dan cukup banyak usahanya.

Menurut cerita oral bahwa pada zaman itu (dahulu) ketika turunan Raja Pasai atau orang yang (akan) menjadi raja sampai di Kuala Daya, perahunya kandas. 

Semua isi perahu dikeluarkan dan semua orang turun untuk menarik perahu namun tetap kandas. Maka pemimpin mereka menyebut sudah cukup usaha tenaga dan daya upaya, tetapi tidak berhasil. 

Karena merasa “Tidak Berdaya”, lalu mereka mendirikan pemukimam di Kuala Daya. Kemudian, negeri tersebut dinamakan “Tidak Berdaya”. Tapi, lama kelamaan penamaan “Tidak Berdaya” hanya disebut dengan “Daya” saja. 

Cerita lainnya menyebut, Raja Daya pertama keturunan Raja Aceh yang mengasingkan diri kemudian membuka negeri karena berselisih dengan saudaranya.

Penamaan Lamno

Sementara, penamaan Lamno bermula ketika Raja Daya melakukan ekspedisi ke hulu Sungai Daya untuk memeriksa penduduk negeri dan sampai ke tempat yang sekarang terletak di Peukan Lamno (Pasar Lamno). 

Di sana didapati penghuni kampung yang mirip orang Lanun dari Malaya atau Hindia Belakang. Orang Lanun disebut orang Aceh dengan sebutan orang Lhan. 

Orang Lhan hidupnya masih liar, belum berpakaian kain. Pakaiannya dari kulit kayu dan kulit binatang yang tipis. 

Dikarenakan orang Lhan penduduk yang sudah ada di situ, maka disebut “Lhan Kana” atau “Lhan Na” yang artinya orang Lhan sudah ada di situ. 

Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, tempat ini disebut dengan “Lam Na” dan ketika Belanda datang ucapan berubah menjadi “Lam No”, dalam sebutan serdadu-serdadu marsose dari suku Jawa yang menyebut Lanno.

Salah satu negeri Kerajaan Daya adalah Negeri Keuluang. Pemimpinnya disebut Raja Keuluang yang membawahi empat daerah, yaitu Keuluang, Lam Beusoe, Kuala Daya dan Kuala Unga.

Adapun Kuala Lam Beuso asalnya karena dahulu pada suatu waktu ada perahu yang berisi besi muatannya sedang didayung terbenam di kuala. Sebab itulah nama Kuala Lam Beuso kemudian berubah menjadi Lam Beuso saja. (*)

Sumber Utama: Tengkuputeh.com, Wikipedia.com dan Acehjayakab.go.id

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top