Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883 dan Tsunami Gunung Anak Krakatau 2018

 
Ilustrasi Gunung Krakatau Purba

INDEPHEDIA.com - Gunung Anak Krakatau (GAK) yang ada sekarang ini merupakan anak Gunung Krakatau di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang meletus tahun 1883. 

Letusan Krakatau bermula pada tanggal 26 Agustus 1883. Gejalanya sudah mulai nampak pada awal Mei dan berpuncak dengan letusan hebat yang meruntuhkan kaldera.

Pada tanggal 27 Agustus 1883, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya. Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga Februari 1884. 

Letusan ini salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah.

Akibat letusan menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa dan tsunami yang dihasilkannya. Dampak letusan ini juga bisa dirasakan di seluruh penjuru dunia.

Dari beberapa sumber sejarah diketahui, sebenarnya jauh sebelum 1883 Krakatau juga pernah meletus pada tahun 416 Sebelum Masehi. 

Letusan itu diikuti beberapa letusan pada abad ke-3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan 17 yang diikuti dengan tumbuhnya kerucut Rakata dan Danan.

Sebelum letusan 1883, aktivitas seismik di sekitar Krakatau sangat tinggi, menyebabkan sejumlah gempa bumi yang dirasakan hingga ke Australia. 

Pada 20 Mei 1883, pelepasan uap mulai terjadi secara teratur di Perboewatan, pulau paling utara di Kepulauan Krakatau. 

Pelepasan abu vulkanik mencapai ketinggian hingga 6 km dan suara letusan terdengar hingga ke Batavia (sekarang Jakarta), yang berjarak 160 km dari Krakatau.

Aktivitas vulkanik menurun pada akhir Mei, dan tidak ada aktivitas lebih lanjut yang tercatat hingga beberapa minggu ke depan. 

Namun, letusan kembali terjadi pada 16 Juni, yang menimbulkan letusan keras dan menutupi pulau dengan awan hitam tebal selama lima hari. 

Pada 24 Juni, angin timur yang bertiup membersihkan awan tersebut, dan dua gulungan kabut asap terlihat membubung dari Krakatau.

Letusan ini diyakini telah menyebabkan munculnya dua ventilasi baru yang terbentuk di antara Perboewatan dan Danan. 

Aktivitas gunung juga menyebabkan air pasang di sekitarnya menjadi sangat tinggi, dan kapal-kapal di pelabuhan harus ditambatkan dengan rantai agar tidak terseret laut. 

Guncangan gempa mulai terasa di Anyer, Jawa Barat, dan kapal-kapal Belanda melaporkan mengenai adanya batu apung besar yang mengambang di Samudera Hindia di sebelah barat.

Pada tanggal 11 Agustus, pakar topografi Belanda, Kapten H. J. G. Ferzenaar, mulai menyelidiki pulau. 

Ia menemukan tiga gulungan abu telah melingkupi pulau, dan lepasan uap dari setidaknya sebelas ventilasi lainnya, sebagian besarnya terdapat di Danan dan Rakata.

Saat mendarat, Ferzenaar mencatat adanya lapisan abu setebal 0,5 m, dan musnahnya semua vegetasi pulau, hanya menyisakan tunggul-tunggul pohon. 

Keesokan harinya, sebuah kapal yang lewat melaporkan mengenai adanya ventilasi baru yang berjarak "hanya beberapa meter di atas permukaan laut". Aktivitas vulkanik Krakatau terus berlanjut hingga pertengahan Agustus.

Gunung Krakatau Memasuki Fase Paroksimal

Pada tanggal 25 Agustus, letusan semakin meningkat. Sekitar pukul 13.00 tanggal 26 Agustus, Krakatau memasuki fase paroksimal. 

Satu jam kemudian, para pengamat bisa melihat awan abu hitam dengan ketinggian 27 km (17 mi). 

Pada saat itu, letusan terjadi terus menerus dan ledakan terdengar setiap sepuluh menit sekali.

Kapal-kapal yang berlayar dalam jarak 20 km (12 mi) dari Krakatau telah dihujani abu tebal, dengan potongan-potongan batu apung panas berdiameter hampir 10 cm (3,9 in) mendarat di dek kapal. 

Tsunami kecil menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatera hampir 40 km (25 mi) jauhnya pada pukul 18.00 dan 19.00 WIB.

Pada tanggal 27 Agustus, empat letusan besar terjadi pukul 05.30, 06.44, 10.02, dan 10:41 waktu setempat. 

Kemudian, pukul 5.30, letusan pertama terjadi di Perboewatan, yang memicu tsunami menuju Telukbetung. 

Pukul 06.44, Krakatau meletus lagi di Danan, menimbulkan tsunami di arah timur dan barat. Letusan besar pada pukul 10.02 terjadi begitu keras. 

Suara letusan terdengar hampir 3110 km (1930 mi) jauhnya ke Perth, Australia Barat, dan Rodrigues di Mauritius (4800 km (3000 mi) jauhnya).

Penduduk di sana mengira letusan tersebut suara tembakan meriam dari kapal terdekat. 

Masing-masing letusan disertai dengan gelombang tsunami, yang tingginya diyakini mencapai 30 m di beberapa tempat. 

Wilayah-wilayah di Selat Sunda dan sejumlah wilayah di pesisir Sumatera turut terkena dampak aliran piroklastik gunung berapi.

Energi yang dilepaskan dari ledakan diperkirakan setara dengan 200 megaton TNT, kira-kira hampir empat kali lipat lebih kuat dari Tsar Bomba (senjata termonuklir paling kuat yang pernah diledakkan). 

Pada pukul 10.41, tanah longsor yang meruntuhkan setengah bagian Rakata memicu terjadinya letusan akhir.

Letusan Besar Sebabkan Evolusi Pulau-pulau Sekitar Krakatau

Gelombang tekanan yang dihasilkan oleh letusan kolosal keempat dan terakhir terpancar keluar dari Krakatau hingga ketinggian 1086 km/h (675 mph). 

Letusan tersebut begitu kuat sehingga memecahkan gendang telinga para pelaut yang sedang berlayar di Selat Sunda. 

Letusannya menyebabkan lonjakan tekanan lebih dari 2½ inci merkuri (ca 85 hPa) pada alat pengukur tekanan yang terpasang di Batavia.

Gelombang tekanan terpancar dan tercatat oleh barograf di seluruh dunia, yang tetap terjadi hingga 5 hari setelah letusan. 

Rekaman barografis menunjukkan bahwa gelombang kejut dari letusan terakhir bergema ke seluruh dunia sebanyak 7 kali. 

Ketinggian kabut asap diperkirakan mencapai 80 km (50 mi). Letusan mulai berkurang setelah itu, dan pada pagi 28 Agustus, Krakatau terdiam. 

Letusan kecil, sebagian besarnya mengeluarkan lumpur, tetap berlanjut hingga Oktober 1883. 

Dampak Gundukan batu karang (c. 1885) dihempaskan ke pantai Jawa setelah letusan Krakatau.

Pada tengah hari tanggal 27 Agustus 1883, hujan abu panas turun di Ketimbang (sekarang desa Banding, Kecamatan Rajabasa, Lampung). 

Kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu ini. Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau.

Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km (8,1 mi) dari Krakatau. 

Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatera yang berjarak 40 km (25 mi) di sebelah utara Krakatau. 

Jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417, namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000.

Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. 

Kota Merak, Banten. luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 km (25 mi) jauhnya ke daratan.

Akibat letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir seluruhnya menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. 

Gunung api kerucut Rakata terpisah di sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-meter (820 ft). 

Dari dua pulau di utara, hanya pulau berbatu bernama Bootsmansrots yang tersisa; Poolsche Hoed juga menghilang sepenuhnya.

Setahun setelah letusan, rata-rata suhu global turun 1,2° C. Pola cuaca tetap tak beraturan selama bertahun-tahun, dan suhu tidak pernah normal hingga tahun 1888. 

Selain itu pula, letusan Krakatau di tahun 1883 sebenarnya juga menjadi salah satu kejadian awal sebelum dimulainya perlawanan rakyat di Cilegon 5 tahun sesudahnya.

Kejadian ini juga sempat tercatat dalam Syair Lampung Karam oleh Muhammad Saleh, seorang yang kemungkinan asli Lampung dan mengungsi ke Singapura. 

Kitab syair itu terbit pada 1888, dan menceritakan secara dramatis soal kengerian dan keadaan kacau balau ketika Krakatau meletus. 

Bisa dikatakan, kitab ini menceritakan letusan Krakatau satu-satunya dari perspektif pribumi sendiri.

Gelombang Tsunami Gunung Anak Krakatau


Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda

Ratusan tahun lamanya setelah meletus, Gunung Krakatau menyisahkan anaknya. 

Pasca kejadian tsunami Selat Sunda yang terjadi Sabtu, 22 Desember 2018 banyak menelan korban jiwa dan harta benda warga Provinsi Lampung khususnya. 

Warga yang terdampak di antaranya di pesisir Kabupaten Lampung Selatan, Telukbetung Bandarlampung, Pesawaran dan Tanggamus serta warga di Provinsi Banten.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), mengatakan tipe letusan Gunung Anak Krakatau kini sudah bukan lagi tipe letusan strombolian pasca robohnya dinding gunung api yang memicu tsunami Selat Sunda.

Kalau dulunya strombolian seperti air mancur, setelah itu istilahnya (tipe letusan) Surtseyan. 

Karakter letusan Gunung Anak Krakatau sebelumnya disebut tipe strombolian, yakni erupsi magmatik berupa erupsi eksplosif lemah. 

Perubahan tipe letusan itu salah satunya dipicu robohnya material tubuh gunung api yang memicu tsunami. 

Gunung Anak Krakatau dibangun aliran lava dan juga aliran piroklastik berupa material lepas. 

Sebagian mungkin yang sifatnya lepas itu yang tidak stabil karena ada lava di atasnya yang meluncur.

PVMBG tengah mengevaluasi rekomendasi mitigasi bahaya Gunung Anak Krakatau setelah robohnya tubuh gunung api, dan berubahnya karakter tipe letusan gunung tersebut. 

Perubahan tipe letusan itu dapat dilihat dari rekaman video letusan Gunung Anak Krakatau yang beredar pasca kejadian tsunami Selat Sunda yang terjadi Sabtu, 22 Desember 2018. 

Kalau melihat videoanya, terlihat seperti magma yang telah berinteraksi dengan air, letusannya menyebar kemana-mana, ke segala arah.

Posisi awal Gunung Anak Krakatau saat dindingnya belum roboh di ibaratkan punya satu pipa saluran yang mengalirkan magma ke permukaan. 

Magma keluar lubangnya kecil sehingga keluarnya strombolian, kecil-kecil. Tapi ,setelah terjadi longsoran, tubuh gunung api yang tadinya seperti rumah dengan cerobong asap, setelah runtuh, asapnya bisa keluar ke mana-mana.

Robohnya dinding gunung api itu diduga membuat aliran magma tidak lagi terkonsentrasi di satu lubang. 

Gunung Anak Krakatau itu tumbuh di atas Gunung Krakatau yang tubuhnya hancur pasca letusan hebat 1883. 

Gunung Anak Krakatau baru terlihat muncul ke permukaan mulai tahun 1927, dan tumbuh selama lebih dari 90 tahun hingga saat ini. Gunung itu terlihat memiliki ketinggian 338 meter di atas permukaan laut.

Korban Tsunami GAK Selat Sunda

Pascatsunami Selat Sunda akibat longsoran Anak Gunung Karakatau, jumlah korban terus bertambah. 

Sampai dengan Selasa, 25 Desember 2018, korban tewas sudah mencapai angka lebih dari 400 orang. 

"429 orang meninggal, 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, 16.082 orang mengungsi," ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.

Menurut Sutopo, data kerugian materiil terkait tsunami Selat Sunda juga terus bertambah. Ada 882 rumah yang rusak, 73 penginapan rusak dan 60 warung rusak. 

"434 perahu dan kapal rusak, 24 kendaraan roda 4 rusak, 41 kendaraan ruda 2 rusak, 1 dermaga rusak, dan 1 shelter rusak," sambung Sutopo.

Ia menyebut, daerah yang paling parah terdampak tsunami Selat Sunda ialah Kabupaten Pandeglang. 

Di wilayah ini tercatat 290 orang meninggal dunia, 1.143 luka-luka, 77 orang hilang, 14.395 orang mengungsi.

Sementara di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, sampai dengan Rabu pagi, 26 Desember 2018, jumlah korban meninggal dunia akibat gelombang tsunami di Selat Sunda yang menerjang pesisir Lampung Selatan sebanyak 113 orang. 

“Semalam ada tiga korban meninggal kembali ditemukan oleh tim yang melakukan pencaharian,” kata Plt kepala Dinas Kominfo Lampung Selatan, Sefri Masdian.

Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengirimkan empat kapal untuk mengevakuasi sekira 1.000 lebih pengungsi dari Pulau Sebesi dan Sebuku yang terisolasi pasca terjangan tsunami. 

Keempat kapal yang disiapkan, yakni kapal patroli KPLP KNP Jembio P.215 dan KNP Trisula P.111 dari Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP) Kelas I Tanjung Priok, KM. 

Kemudian, Sabuk Nusantara 66 yang dioperatori PT Pelni, serta kapal penyeberangan KMP Jatra 3 milik PT ASDP Indonesia Ferry.

Akibat tsunami itu ribuan warga Pulau Sebesi dan Sebuku diungsikan ke Kalianda. 

Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan juga telah mendirikan posko tanggap darurat di Desa Way Muli dan juga Desa Kunjir yang merupakan dua desa terparah terkena dampak terjangan tsunami. 

Posko juga didirikan di sejumlah desa lainnya yang juga terkena dampak dari terjangan gelombang tsunami. Bantuan bagi korban pun terus mengalir berdatangan dari berbagai pihak. (***)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top