Revolusi Fisik di Lampung Pasca Agresi Militer Belanda II

 

Tanggal 1 Januari 1949, sekitar tengah malam (dini hari), pos Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang berada di Kalianda melaporkan adanya gerakan kapal perang Belanda menuju ke arah Teluk Betung.

INDEPHEDIA.com - Sekitar November dan Desember 1948 atau menjelang tahun 1949, situasi maupun kondisi di wilayah Lampung relatif tenang pasca Agresi Militer Belanda II. 

Hal ini disebabkan waktu itu masih dalam suasana gencatan senjata akibat Perjanjian Renville. Tapi, sebenarnya tidak dapat dikatakan hasil perjanjian tersebut memuaskan, hingga bisa menjamin suasana ketenangan.

Perjanjian Renville yang telah dibuat, antara lain mengenai garis demarkasi atau yang dikenal pula dengan Garis Van Mook.

Dalam perjanjian itu, statusquo berbatasan antara kekuasaan Belanda (KL-KNIL) dan TNI yang masih berada dalam daerah pendudukan Belanda (kantong-kantong), harus dikeluarkan ataupun dimasukkan dalam daerah RI.

Perjanjian ini, ditandatangani tanggal 17 Januari 1948 di atas kapal Renville. Sehingga kesepakatan itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Renville. 

Perjanjian tersebut, masing-masing terdiri dari 10 pasal persetujuan gencatan senjata, 12 pasal prinsip politik dan 6 pasal prinsip tambahan dari KTN.

Tanggal 1 Januari 1949, sekitar tengah malam (dini hari), pos Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang berada di Kalianda melaporkan adanya gerakan kapal perang Belanda menuju ke arah Teluk Betung. 

Gerakan kapal ini, membuat sigap pasukan ALRI untuk melakukan penghalauan. Sekira jam 05.00 Wib, kapal perang tersebut mulai berusaha untuk mendaratkan kapalnya ke Pelabuhan Panjang. 

Tetapi, belum sempat mereka mencapai bibir pantai langsung mendapat sambutan bumi hangus dan tembakan dari darat oleh kesatuan ALRI. 

Mendapat sambutan perlawanan dari arah darat, kapal perang Belanda selanjutnya membuang sauh didekat Pulau Condong. 

Dengan sekoci-sekoci pendaratnya, pasukan Belanda mendarat di Gunung Kunyit dan Teluk Betung. Kira-kira jam 06.00 Wib, mereka bergerak ke arah Kota Tanjung Karang. 

Di Teluk Betung, pasukan Belanda melalui 3 jurusan, yaitu melalui Golak-galik, rel kereta api Geruntang dan jalan raya Teluk Betung – Tanjung Karang.

Dengan dilindungi 2 pesawat terbangnya dari udara, pasukan Belanda terus bergerak maju memasuki wilayah Lampung. 

Pendaratan disertai dengan tembakan metraliur pesawat terbang dan juga tembakan meriam dari kapal perangnya. Pertempuran laut ini pengalaman pertama kali pasukan ALRI bertempur di laut.  
                                      
Dengan persenjataan yang tidak seimbang, pasukan diperintah mundur dari medan pertempuran sambil melakukan bumi hangus. Berbagai fasilitas penting dibumihanguskan. 

Selanjutnya, mereka diperintahkan berkumpul di Km 21, Gedong Tataan, yang ditentukan sebagai markas darurat pasukan ALRI.

Setelah masuk ke Kota Tanjung Karang – Teluk Betung, pasukan Belanda terus bergerak sampai ke Tegineneng (wilayah Pesawaran yang berbatasan dengan Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Kota Metro sekarang). 

Kemudian, mereka menuju ke arah barat sampai Kemiling (wilayah Bandar Lampung berbatasan dengan Pesawaran sekarang). Pasukan Belanda yang ada di Tegineneng berhenti di Desa Mandah.

Gerak Belanda yang masuk ke wilayah Lampung mengancam kedaulatan negara Republik Indonesia. 


Pukul 10.00 Wib, Komando Batalyon Mobil Kapten Nurdin melakukan komunikasi pasukan lainnya dengan menelepon dari Natar ke Kotabumi kepada Kapten Ahmad Ibrahim. 


Maksudnya, agar pasukan Abdulhak kembali ke wilayah Tegineneng dengan kereta api untuk bertahan di sekitar jembatan Tegineneng.

Malam yang dingin, di tengah hujan deras jam 19.30 Wib, Letnan Muda Masno Asmono bersama dengan beberapa anggota pasukan Supomo bergerak.


Mereka menggunakan kepala kereta api (lokomotif) dari halte Rengas langsung menuju ke Tegineneng. Tetapi, baru tiba di ujung jembatan Way Sekampung, mereka telah disambut dengan tembakan Belanda.

Masno Asmono dan anggota pasukan Supomo yang baru tiba dari Rengas (sekarang desa di Kecamatan Bumiratu Nuban, Lampung Tengah), begitu mendapat sambutan kurang bersahabat langsung mengadakan perlawanan. 


Dalam tempo singkat terjadi tembak menembak antara kedua belah pihak. Masing-masing mengambil posisi menyerang dan saling tembak. Kesunyian malam terbelah suara tembakan.

Letnan Muda Masno Asmono dan kawan-kawan mengadakan perlawanan sambil berlindung dibalik besi-besi jembatan. 


Karena tembakan Belanda sangat gencar disertai dengan tembakan mortir, pasukan yang hanya berjumlah beberapa orang itu akhirnya memilih mundur sembari kembali ke Rengas.

Menyadari situasi dan kondisi demikian, malam hari itu juga Komandan STL Letkol Syamaun Gaharu, anggota stafnya beserta beberapa pejabat pemerintahan sipil Keresidenan Lampung telah berada di Gedong Tataan. 


Keluarga-keluarga pejabat militer dan sipil yang mengungsi, akhirnya ditampung di kompleks perumahan Kyai Haji Gholib di Pringsewu.

Tanggal 5 Januari 1949, pasukan Abdulhak minus Seksi I Letnan Bursyah yang berada di Pakoan Ratu menuju Kemiling. 
Pasukan itu terdiri atas 2 seksi, yaitu seksi Letnan Muda Sahlan dan seksi Letnan Muda Syukur. 


Karena daerah utara dan timur di dalam pertahanan ditugaskan kepada Lettu Endro Suratmin dan Lettu Supomo, pasukan Abdulhak berjalan kaki menuju Gedong Tataan melalui jalan umbulan. 

Pasukan Abdulhak, ditetapkan komandan STL bertugas di front selatan sebagai pasukan pelindung staf STL dan pemerintah darurat Keresidenan Lampung. 


Dari Kemiling sampai dengan Gedong Tataan, jembatan-jembatan diputus dan dibuat barikade pohon-pohon yang ditumbangkan ke tengah jalan untuk merintangi gerak laju musuh.

Gencatan senjata antara tentara Republik Indonesia dengan Belanda diumumkan pada bulan Agustus 1949. 


Untuk perundingan dengan pihak Belanda, diangkatlah perwira-perwira TNI sebagai perwira penghubung yang dari ALRI, antara lain Kapten C. Souhoka, Letnan I Hotma Harahap dan Letnan II J. Samuel Muda.

Di bulan Januari 1950, seluruh pasukan ALRI sudah memasuki kota. Berdasarkan radiogram MBAL di Jakarta, diintruksikan kepada seluruh personil ALRI dari semua pangkalan di Sumatera ditarik ke Jakarta untuk mengikuti Selection Board. 


Sayangnya, dengan alasan kepentingan keluarga, perang sudah selesai dan sebagainya banyak dari personil ALRI mengundurkan diri kembali ke masyarakat.

Tanggal 29 April 1950 jam 21.00 Wib, pasukan ALRI berasal dari Lampung dengan membawa berita kemenangan bertolak ke Jakarta. 


Pasukan diangkut dengan kapal perang yang masih menggunakan nama KM YS Vogel. Sejak itu, ALRI Pangkalan IA Lampung ditarik mundur dari wilayah Lampung.

Tahun 1976, setelah revolusi fisik di Lampung, para mantan anggota Pangkalan IA ALRI Lampung dengan bimbingan Mayor Laut Syairudin Said, Dan Sional Panjang, dengan dibantu dari masyarakat setempat berhasil membangun sebuah monumen di Kota Dalam. 


Monumen tersebut walaupun dibangun sederhana, tetapi kenang-kenangan pengabdian dan pengorbanan para pejuang yang gugur disana. Monumen itu, diresmikan tanggal 26 Juni 1976 oleh KASAL didampingi gubernur Lampung. (*)

Sumber: Buku "Kabupaten Pesawaran Dalam Untaian Sejarah", Penulis: Akhmad Sadad (Pendiri INDEPHEDIA.com), Penerbit: Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran, Lampung, 2010-2011.


Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top