Politik Etis dan Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia (5)

 


 

INDEPHEDIA.com - Di masa itu juga muncul Sarekat Islam. Awalnya, organisasi ini dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang, baik besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam untuk bisa saling memberi bantuan dan dukungan.

Kesadaran serta kebangkitan dalam berorganisasi di tengah masyarakat kian tumbuh. Berselang berapa lama, nama Sarekat Dagang Islam diubah, antara lain oleh Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam.

Tujuan utama dari perkumpulan ini, di antaranya untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidup dan bangsanya tertindas penjajahan.

Sudah barang tentu, kemunculan dan keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan bersifat politik semacam itu, menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang.

Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Party. Karena di dalam arena perpolitikan pergerakan Budi Utomo memang belum berpengalaman.

Dengan adanya gerakan politik dari perkumpulan-perkumpulan itu, makna nasionalisme lama kelamaan makin di mengerti oleh kalangan luas.

Ada beberapa kasus yang memperkuat makna itu. Salah satunya, ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun (Ulta) kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut, membuat rakyat Hindia Belanda marah besar.

Kemarahan tersebut, rupanya mendorong seorang bernama Soewardi Suryaningrat yang dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara, menulis sebuah artikel berjudul “Als ik Nederlander Was” (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda.

Ironisnya, dari tulisan yang dianggap menyindir ini pula membuat Soewardi Suryaningrat bersama dua teman dan pembelanya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, dicari dan dijebloskan ke penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.

Sementara itu, dalam kehidupan masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental diantara orang-orang Belanda dengan bangsa pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap mereka. Penduduk setempat mendapatkan tekanan maupun diskriminasi sosial-budaya.

Untuk mencapai tujuan, meski tidak secara berkala, mereka terus berusaha menyadarkan kaum pribumi agar dapat melepaskan diri dari belenggu-belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi serta menuntut pendidikan ke arah swadaya. Ini penting dilakukan, antara lain guna kesadaran bela bangsa.

Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan dari Indo sendiri, seperti halnya keturunan bangsa Indonesia–Belanda dan sebagainya, yang secara sosial digolongkan sebagai warga kelas dua, tetapi secara hukum mereka termasuk orang Eropa yang menetap merasa ditinggalkan.

Dikalangan Indo terdapat ketidakpuasan. Karena masa itu pembangunan lembaga-lembaga pendidikan formal kebanyakan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi eksklusif. Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat tersebut.

Sementara, pilihan lain yang harus ditempuh bagi mereka, terutama kalangan Indo untuk mendapatkan jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.

Padahal, waktu itu sekolah-sekolah sudah dibangun pemerintah Hindia Belanda. Tapi, kalangan ini tidak digolongkan kalangan pribumi ekslusif. Bukan pula orang asing. Mereka golongan orang-orang keturunan sehingga tidak bisa bersekolah di sana.

Demikian pula halnya dengan sistem pengairan yang ada. Berbagai pembangunan jaringan irigasi, sesungguhnya bukan untuk kepentingan rakyat banyak, khususnya warga yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, melainkan salurannya bagi kepentingan Belanda.

Irigasi, bukan untuk mengairi areal persawahan milik penduduk, akan tetapi prioritasnya guna mengairi kebun milik swasta, terutama perkebunan tebu, karet, tembakau serta berbagai tanaman lain yang menguntungkan serta laku keras dipasaran internasional.

Negara Belanda dikenal mempunyai keahlian di dalam teknologi perairan. Laut di negeri Belanda dapat dibendung dan dijadikan daerah perkotaan. Oleh karena itu, dalam hal teknologi pengairan mereka memang jagonya.

Melalui kebijakan irigasi, Belanda membangun jaringan irigasi yang diperlukan untuk pengairan teknis sawah dan perkebunan yang dicetak Belanda. Lagi-lagi, kebijakan tersebut bukan sebagai politik balas budi, melainkan semata-mata hanya mengeruk lebih banyak lagi kekayaan alam dari tanah jajahan.

Politik etis dalam pelaksanaannya telah menempatkan pribumi tetap sebagai objek jajahan daripada partisipasi aktif. Dalam hal ini, ada dualisme ekonomi kebijakan yang diambil pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Sistem kebun misalnya, dibudidayakan sebagai kebun yang permanen. Tujuannya, tak lain agar bisa menaikkan volume hasil ekspor perkebunan, yang realisasi akhirnya dapat meningkatkan penghasilan Hindia Belanda.

Proses pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke luar pulau, justru dijadikan buruh yang akan dipekerjakan di daerah-daerah perkebunan atau daerah pertambangan milik Belanda.

Kuli kontrak dari Pulau Jawa, dipindahkan ke perkebunan karet di Pematang Siantar, Sumatera Utara, dan di daerah pertambangan batubara di Sawah Lunto, Sumatera Barat. Bahkan, ada juga yang dipindahkan ke negeri jajahan Belanda di luar negeri.

Maksud awal kebijakan ini memang dipandang sebagai kebijakan yang bersifat simbiose mutualistis. Karena, dapat menguntungkan pihak Belanda di satu sisi, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di sisi lainnya. Namun kenyataanya tidak demikian.

Kebijakan itu semata-mata juga hanya menguntungkan Belanda. Makin banyak hasil-hasil bumi dan hasil tambang dikeruk Belanda dari bumi pertiwi Indonesia. Kekayaan alam yang ada kemudian di eksploitasi untuk mencari keuntungan. Sementara, rakyat tetap dalam keadaan miskin dan tertindas.

Kebijakan dan langkah pertama maupun kedua yang dilaksanakan, dalam pelaksanaannya setidaknya telah disalahgunakan oleh pemerintah Hindia Belanda, seperti dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan milik mereka.

Pengairan bukan diperuntukkan bagi lahan pertanian penduduk setempat. Rezim pemerintahan kala itu, membangun saluran irigasi justru mengutamakan mengairi kebun mereka.

Begitu pula halnya dengan perpindahan warga ke sejumlah wilayah daerah di Indonesia. Emigrasi dilakukan mereka dengan memindahkan penduduk asal Pulau Jawa ke daerah perkebunan untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya dalam bidang pendidikan yang berarti bagi bangsa jajahannya. Itupun penerapannya tidak menjangkau maksimal.

Bersambung Bagian 6

*) Dikutip dari Buku "Land Use Planning, Jejak Kolonisasi Pertama di Indonesia", Penulis: Akhmad Sadad (Pemimpin Redaksi Indephedia.com / Pendiri Iphedia Network).


Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Biasakan berkomentar dengan nama yang jelas. Berkomentar dengan UNKNOWN atau SPAM akan dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top